Pagelaran wayang kulit telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari tradisi peringatan Dies Natalis Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dari tahun ke tahun. Namun ada yang berbeda dari pagelaran wayang yang digelar Senin (19/8) malam. Dalang yang dipilih untuk mementaskan wayang merupakan mahasiswa UGM, yaitu Ki M. Rafì Nur Fauzy. Sinden dan penabuh gamelan yang mengiringi pementasan wayang juga merupakan mahasiswa, yang tergabung dalam Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) UGM.
Menurut Dekan Fakultas Filsafat, Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., antusiasme para mahasiswa dalam menekuni kesenian tradisional merupakan hal yang menggembirakan, dan oleh karenanya perlu diberikan ruang berkreasi seluas-luasnya. “Ini adalah bukti bahwa generasi muda kita masih memiliki kecintaan yang besar terhadap budaya tradisional. Betapa bangganya kita semua bisa menyaksikan antusiasme kita semua dalam melestarikan dan merayakan kekayaan budaya nusantara,” tuturnya.
Pagelaran wayang kali ini menampilkan Wayang Gajah Mada dengan lakon “Gajah Mada Suci”. Pagelaran ini menjadi bagian dari Pentas Tradisi dalam rangka Dies Natalis ke-57 Fakultas Filsafat. Pentas Tradisi ini juga diisi oleh penampilan Tari Lengger Wonosobo oleh UKJGS, penampilan dari kelompok karawitan Karafi dan Philoswara, serta kelompok hadrah mahasiswa.
Murti menuturkan, Fakultas Filsafat sebagai bagian dari institusi yang selalu meninggikan nilai-nilai kebudayaan merasa selalu memiliki tanggung jawab untuk terus mendukung dan menghidupkan tradisi-tradisi luhur yang menjadi bagian dari identitas Bangsa Indonesia.
Tari Lengger Wonosobo sebagai salah satu warisan budaya dari Jawa Tengah tidak hanya menampilkan keindahan gerak tetapi juga menyampaikan pesan-pesan moral yang mendalam. Begitu juga gending Karafi yang mengajak para pendengar meresapi kekayaan musik tradisional dengan lantunan lagu-lagu yang menenangkan jiwa. Hadroh membawa pada suasana religius yang penuh makna, sedangkan wayang mengingatkan pada kisah-kisah epic yang sarat dengan nilai kehidupan.
Semua ini, tuturnya, menunjukkan betapa pentingnya bagi kita untuk terus menghidupkan tradisi bukan hanya sebagai warisan tetapi juga sebagai sumber inspirasi, sumber kekuatan dalam menghadapi tantangan zaman. “Pentas tradisi yang kita saksikan malam ini bukan sekadar hiburan tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang sekaligus sebagai representasi refleksi mendalam atas warisan luhur yang membentuk jati diri kita. Semoga malan ini menjadi malam yang tak terlupakan, menjadi malam yang penuh makna, dan malam yang penuh kenangan indah bagi kita semua,” papar Murti.
Budaya tradisional sering kali terpinggirkan oleh arus modernisasi. Tetapi Murti dan Fakultas Filsafat percaya bahwa dengan menjaga dan melestarikan tradisi, hal tersebut dapat membantu untuk menemukan keseimbangan antara kemajuan dan identitas budaya.
Diharapkan melalui pentas ini seluruh pihak dapat merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh para leluhur dan bagaimana kita semua dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Mari kita jadikan tradisi sebagai pilar yang kokoh untuk membangun masa depan yang lebih baik bukan hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga bagi generasi yang akan datang,” tutup Murti.
Reportase : Gloria/Humas Filsafat
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson