Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini tengah mengalami transformasi dalam penguatan kinerja dengan melakukan adaptasi dan inovasi menghadapi disrupsi teknologi digital dan perkembangan dunia usaha global. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada perlu mendapatkan wawasan baru terkait BUMN dan pentingnya menguasai kompetensi di dunia kerja tidak hanya dari sisi hard skill, namun juga soft skill beserta attitude.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik yang bertajuk ‘Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas 2045’,Jumat (27/9), di Auditorium Djarum Foundation. Diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini menghadirkan Corporate Secretary InJourney Destination Management, Ryan Eka Permana Sakti, Direktur Investasi 2 PT Danareksa, Rizwan Rizal Abidin, Dosen Departemen Manajemen FEB UGM, Yulia Arisnani Widyaningsih, M.B.A, Ph.D., dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D.
Rizwan menyampaikan hasil capaian kinerja P.T Danareksa dalam meningkatkan performa berbagai perusahaan BUMN lain yang performanya dinilai kurang oleh negara.
Di sela pemaparannya, ia berpesan bahwa bekerja di lingkungan BUMN, selain memiliki kompetensi namun yang tidak kalah penting adalah attitude dan soft skill. “Hard skill nomor dua, attitude nomor satu. Saya ulang berkali-kali attitude saya ada nomor satu. Dengan attitude orang biasa bisa salip yang pinter, dengan attitude orang yang tidak bisa kerjasama, bisa jadi kerjasama, menjadi kompeten. Ini adalah konsep yang utama. Tentu setelah itu ada yang hard skill juga,” jelas Rizwan.
Hal senada juga disampaikan oleh Gumilang Aryo Sahadewo bahwa para mahasiswa perlu mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang up to date dengan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pekerjaan di masa yang akan datang, contohnya seperti artificial intelligence.
Selain itu, Gumilang juga menekankan betapa pentingnya bagi mahasiswa untuk juga mempelajari soft skills. “Seperti yang tadi disampaikan mas Rizwan, kalian betul-betul harus dedicated untuk membangun, satu hard skill kemudian yang kedua, yang tadi disampaikan lebih penting itu adalah soft skill termasuk salah satunya attitude, adaptability dan seterusnya,” ungkapnya.
Sementara Ryan menerangkan soal perubahan model usaha tourism dimana saat ini pihaknya untuk mengubah bisnis pariwisata yang awalnya berbasis pada jumlah pembeli tiket saja menjadi ditambah dengan seberapa lama wisatawan tinggal dan melakukan kegiatan pengeluaran. “Kalau dulu kita bicara sebanyak-banyaknya orang berkunjung kemudian dikalikan harga tiket, kita sekarang sudah bicara tentang seberapa lama mereka bisa stay di kawasan tersebut spending uangnya memberikan direct economic impact terhadap masyarakat,” jelasnya.
Menanggapi pendapat Ryan, Yulia Arisnani Widyaningsih menilai indikator turisme tidak cukup dari hanya tiket dan length of stay dari turis itu sendiri namun juga experience atau persepsi dari host communities. “Indikator nya gak cukup length of stay dan spending, tapi juga experience atau persepsi host communities” respon Yulia.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson