
Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara dia dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan kembali pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Perbedaan bahasa dan budaya ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Salah satu aspek kebudayaan yang harus disampaikan oleh penerjemah adalah aspek kesantunan.
Demikian dikatakan Dosen Prodi Sastra Prancis, Prof. Dr. Drs. Sajarwa, M.Hum., dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Selasa (25/2). Sarjawa dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Linguistik Penerjemahan FIB UGM usai menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul ‘Transformasi Manajemen Muka dalam Penerjemahan kesantunan Bahasa Prancis ke Bahasa Indonesia’.
Sajarwa memulai pidatonya dengan membahas tentang kesantunan berbahasa yang melekat pada setiap bahasa. Kesantunan berbahasa merupakan cara bertindak dan berucap yang ada di suatu masyarakat dianggap sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan juga berkaitan dengan konsep rasionalitas dan muka. Dalam hal ini, muka dibagi dua menjadi muka positif dan muka negatif. “Kesantunan berbahasa merupakan cara untuk memelihara dan menyelamatkan muka, sebab ada pula tindak tutur yang mengancam muka,” ujar Sajarwa.
Kesantunan berbahasa dalam bahasa Prancis berbeda dengan kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia. Sajarwa memberikan contoh penggunaan kata ganti orang vous ‘anda’ yang menunjukkan kesejajaran antara penutur dan mitra tutur, tetapi hubungan interpersonal mereka kurang dekat. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, kata ganti orang ‘anda’ menunjukkan ketidakseimbangan antara penutur dan mitra tutur. Penggunaan pronomina anda justru membuat pembicara dengan lawan bicara ada jarak sosial, tidak egaliter. “Penggunaan pronomina ‘anda’ mengakibatkan adanya perubahan kesantunan, yaitu pada teks sumber penutur dan mitra tutur pada posisi pijakan yang sama, sedangkan pada teks sasaran penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial,” ungkap Sajarwa.
Selain kesantunan berbahasa, Sajarwa juga membahas mengenai manajemen muka yang dimiliki oleh penutur. Manajemen muka adalah suatu bentuk komunikasi di mana seseorang mempertahankan, memperbaiki, atau meningkatkan muka atau citra dirinya di hadapan orang lain. Citra diri dapat dimaknai sebagai kesan atau persepsi orang lain terhadap diri kita. Setiap budaya memiliki norma dan nilai yang berbeda dalam hal cara menjaga dan mempertahankan muka. Sajarwa mengungkapkan perbedaan cara menjaga muka antara penutur Barat dan Timur. “Orang Amerika, dengan budaya individualisnya, cenderung menggunakan muka positif sebaliknya orang Jepang, Korea, termasuk Indonesia, yang menganut budaya kolektivis, cenderung menggunakan muka negatif,” ujar Sajarwa.
Di akhir pidatonya, Sajarwa berharap kajian mengenai kesantunan berbahasa dan manajemen muka dapat diperluas lingkupnya. Menurutnya, masih banyak topik-topik dalam lingkup studi tersebut yang dapat dikaji, terutama kaitannya dengan isu lain, seperti gender dan kekuasaan. “Topik ini masih belantara dan terbuka lebar untuk diteliti ke depannya,” pungkas Sajarwa.
Ketua Senat Akademik (SA) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum., dalam pidatonya mengatakan bahwa Prof. Sajarwa merupakan salah satu dari 525 Guru Besar aktif yang ada di tingkat Universitas. Sementara di tingkat Fakultas, Sajarwa menjadi Guru Besar aktif ke-26, dari 52 Guru Besar yang pernah dimiliki oleh FIB UGM.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto