
Kondisi kesehatan mental para pekerja informal di Indonesia sering kali kurang mendapat perhatian pemerintah, padahal mereka memainkan peran penting dalam perekonomian negara. Pekerja informal ini umumnya mereka yang tidak memiliki kontrak kerja tetap, tidak mendapatkan perlindungan sosial atau kesehatan dan seringkali pendapatannya tidak tetap serta fluktuatif.
Dekan Fakultas Psikologi UGM Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., mengatakan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental pekerja informal ini merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ia menyebutkan secara statistik, jumlah pekerja di sektor informal ini sangat besar. Sekitar 59% dari angkatan kerja bekerja di sektor informal. Artinya, ada sekitar 72 juta orang yang hidup dari pekerjaan informal, dan ini mencakup sekitar 43 hingga 45 juta rumah tangga. “Hal ini berarti ada sekitar 152 hingga 160 juta jiwa, terdiri dari orang tua, ayah, ibu, dan anak-anak, yang kehidupannya bergantung pada ekonomi sektor informal. Kondisi yang tidak menguntungkan di sektor informal, atau kebijakan pemerintah yang tidak mendukung sektor ini, akan berdampak langsung dan dirasakan oleh sejumlah besar orang,” kata Rahmat, Rabu (19/3) dalam kajian ramadhan di Masjid Kampus UGM.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum kondusif seperti sekarang, tekanan mental bagi pekerja informal makin bertambah. Rahmat mencontohkan pekerja informal seperti ojek online, tukang kayu, pedagang kaki lima, hingga asisten rumah tangga, terkadang beban psikologis yang sering kali tidak tampak di permukaan, namun sangat signifikan bagi para pekerja di sektor informal. “Bagi mereka, lelah terkait pekerjaan itu bukan sekadar lelah fisik, tetapi juga lelah mental. Dalam hal ini, tekanan psikologis yang dialami pekerja informal muncul dari ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan sosial yang mereka terima,” katanya.
Rahmat menyebutkan ada empat kategori beban yang kerap dihadapi oleh para pekerja informal, yakni beban pekerjaan, beban ekonomi, beban sosial, dan beban lingkungan fisik. Ketidakpastian pekerjaan menjadi sumber utama beban bagi pekerja informal. Lalu dari sisi ekonomi, pekerja informal juga harus menghadapi tekanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, biaya sekolah, hingga hutang yang harus terus dibayar. “beban sosial juga turut menambah tekanan pada pekerja informal. Masyarakat Indonesia yang kolektif cenderung memberikan penilaian sosial yang tinggi. Lingkungan fisik yang tidak mendukung juga menjadi beban tambahan bagi para pekerja informal,” ujarnya.
Menurutnya, kesehatan mental tentu menjadi salah satu aspek kemampuan diri seseorang untuk dapat bekerja dengan baik dalam menjalankan fungsi sehari-hari serta membangun relasi sosial yang mensejahterakan. Rahmat kemudian menyampaikan tiga mekanisme psikologis dan sosial yang menjadi penghalang bagi masyarakat dalam mencapai mobilitas vertikal, khususnya dari sisi kesejahteraan. Tiga hal tersebut antara lain cognitive tax (beban kognitif), poverty frame (cara pandang), dan social & environment tax (beban sosial & lingkungan).
Cognitive tax atau ketidakpastian dalam pekerjaan dan penghasilan, dapat menyerap sumber daya kognitif yang penting untuk pengambilan keputusan yang baik, sehingga kemampuan berpikir jernih menurun. Kondisi yang dialami oleh para pekerja informal ini kemudian juga dapat menciptakan poverty frame, yakni bingkai kemiskinan yang membuat masyarakat menerima keadaan tanpa menyadari peluang pengembangan diri. Selain itu, beban lingkungan sosial sering kali menjadi beban tambahan melalui tuntutan yang tidak mempertimbangkan kondisi individu. “Bingkai kemiskinan yang terbentuk akibat perlakuan di tempat kerja dan di masyarakat juga dapat menurunkan semangat dan kemampuan untuk memiliki cita-cita dan keinginan untuk mengembangkan diri,” katanya.
Di akhir sesi, Rahmat menyoroti banyak sekali kebijakan publik yang mengabaikan pertimbangan psikologis manusia termasuk dalam hal ini pekerja informal. Menurutnya, kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada data statistik tanpa memperhitungkan dampak psikologis yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut. Misalnya, berapa persen pekerja informal yang perlu dibantu, tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan mereka, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana mereka merespons kebijakan tersebut. Padahal, faktor psikologis ini sangat penting untuk memastikan kebijakan tersebut berjalan dengan efektif. “Jika ingin mengubah kondisi masyarakat secara luas, diperlukan kebijakan inklusif yang sensitif terhadap cara berpikir kelompok masyarakat tersebut,” tutupnya.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Detik