
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis data kemiskinan untuk Maret 2025 yang mencatat penurunan kemiskinan menjadi 8,47 persen. Angka ini disebut menjadi angka kemiskinan paling rendah dalam dua dekade. Namun, selain angkanya yang disoroti publik, waktu rilisnya yang terlambat juga mendapat atensi. Sejumlah pakar mempertanyakan apakah penundaan ini murni teknis atau ada potensi politisasi mengingat sensitifnya data kemiskinan menjelang momentum politik seperti pilkada.
Pakar dari bidang Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM, Nurhadi, Ph,D. menilai bahwa keterlambatan tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ia mengapresiasi langkah BPS jika mengarah pada komitmen positif terhadap kualitas dan validitas data. Menurutnya, jika alasan penundaan adalah untuk menjamin akurasi dan harmonisasi standar global, maka itu menunjukkan itikad baik. “Tetapi transparansi terhadap publik harus dijaga. Kalaupun ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas. Metodologi, validitas, dan alasan teknis lain harus terbuka,” ujarnya mengingatkan, Kamis (31/7).
Nurhadi menyebut keterlambatan ini menyimpan risiko yang tidak kecil. Salah satunya adalah kehampaan data dalam siklus perencanaan kebijakan. Pemerintah pusat maupun daerah sangat bergantung pada data kemiskinan untuk menyusun program perlindungan sosial. “Ketika data ditunda, intervensi kebijakan bisa meleset karena mengacu pada data lama,” jelasnya.
Kritik lain yang lebih serius adalah potensi tergerusnya kepercayaan publik terhadap BPS sebagai institusi statistik nasional. Apalagi jika penundaan terjadi berulang dan dalam konteks politik elektoral. “Di era literasi digital saat ini, publik semakin peka. Kalau tidak dijelaskan dengan baik, justru bisa muncul asumsi bahwa data ditahan demi kepentingan tertentu,” tambah Nurhadi.
Lebih dari itu, Nurhadi juga mengingatkan agar independensi BPS harus dijaga secara ketat dari intervensi politik, terutama menjelang pemilu. Menurutnya, data statistik bukanlah milik pemerintah, tetapi milik publik. Pemerintah hanya diberi mandat untuk mengelola dan merilis data menggunakan dana publik. Oleh karena itu, keterbukaan dan keteraturan dalam merilis data menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada warga negara.
Terkait substansi data terbaru, Nurhadi menyoroti bahwa meskipun angka kemiskinan menurun, ukuran resmi garis kemiskinan di Indonesia masih terlalu rendah dan tidak merepresentasikan realitas sosial-ekonomi masyarakat. “Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak kelompok yang sebenarnya miskin secara riil tapi tidak terdata,” katanya.
Ia menambahkan bahwa data saat ini belum mengadopsi standar internasional seperti dari World Bank yang jika digunakan bisa melonjakkan angka kemiskinan nasional menjadi dua hingga tiga kali lipat. Meski demikian, Nurhadi mengakui bahwa adopsi standar global harus dilakukan secara bertahap. “Kalau belum siap secara teknis dan politis, jangan dipaksakan. Tapi harus ada roadmap menuju ke sana,” sarannya.
Ia juga menekankan pentingnya pemantauan keberlanjutan bagi warga yang baru keluar dari garis kemiskinan agar tidak kembali miskin, serta perlunya pendekatan berbasis pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar bantuan. “Rilis data bukan semata tugas teknis tahunan, tapi hak publik yang memungkinkan warga menilai kinerja negara,” tegasnya.
Dalam konteks pembangunan berbasis bukti (evidence-based policy), kualitas dan ketepatan waktu data menjadi elemen vital. Ia mendorong pemerintah, khususnya BPS, untuk menguatkan komunikasi publik dan tata kelola statistik ke depan.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik