Tahun politik menjadi ajang penentuan sejauh mana demokrasi di Indonesia terealisasikan. Berbagai tantangan dan persoalan dalam tata cara penyelenggaraan pemilu sebelumnya menjadi refleksi utama pada Pemilu 2024. Menanggapi isu tersebut, program Election Corner, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengundang langsung Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam diskusi “Fisipol Leadership Forum: Peluang dan Tantangan Menuju Pemilu 2024” pada Rabu (30/8).
Badan Riset dan Inovasi negara (BRIN) menyatakan bahwa 74% pemilik hak suara merasa kesulitan untuk mengisi lima surat suara dalam satu hari. Kendala ini mengakibatkan tingginya jumlah surat suara tidak sah pada Pemilu 2019. Jika tidak ada pembenahan dalam sistem tata kelola pemilu kali ini, maka potensi terjadinya penurunan demokrasi pun semakin besar. “Tahun ini tantangannya sangat besar. Jadi pertama kalinya dalam sejarah pemilu dilaksanakan serentak, ya. Memilih anggota DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR, DPD dan Presiden. Kemudian pada tahun selanjutnya akan diselenggarakan Pilkada. Jadi ini akan ada banyak sekali tantangan dalam segi teknis pemilu,” ucap Dekan Fisipol UGM, Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., MPA., Ph.D dalam sambutannya.
Menurut Ketua KPU DI Yogyakarta, Hamdan Kurniawan, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi tantangan pemilu tahun ini, yaitu hoaks, kekerasan, dan keselamatan penyelenggara pemilu. “Jadi tantangan yang pertama dan paling besar itu adalah hoaks. Saya mengutip dari Mafindo, dari 128 hoaks di tahun 2019, itu yang paling besar menyerang entitas kandidat dan pendukung kandidat. Kemudian di nomor dua ada KPU dengan presentasi 15,6%. Reproduksi hoaks ini akan terus berlangsung dan menjadi tantangan dalam pemilu ke depannya. Makanya ini kemudian perlu akal sehat kita untuk mendalami informasi yang kita terima,” tutur Hamdan.
Imbas tersebarnya hoaks tersebut mengharuskan KPU menyelenggarakan pemungutan suara ulang di beberapa daerah Yogyakarta. Hamdan meyakini, bahwa hoaks ini akan muncul secara intensif pada hari pelaksanaan Pemilu 2024. Selain hoaks, masalah kekerasan dalam pemilu juga menjadi kekhawatiran lainnya. Sifat fanatisme beberapa kelompok terhadap salah satu kandidat menjadi pemicu utama adanya kekerasan dalam pemilu sebelumnya.
“Pada 2015, itu sekurang-kurangnya ada tiga kericuhan yang meledak ketika ada gelaran kampanye pemilu. Ya bisa ada senjata tajam, senjata tumpul, merusak bangunan atau kendaraan. Kemudian di tahun 2019, Polda DIY mencatat ada 17 bentrok antara simpatisan parpol maupun pendukung pasangan calon presiden. Dan korbannya panitia penyelenggara pemilu. Itu terjadi di Jogja,” ungkap Hamdan. Selain kekerasan, catatan pada tahun 2019 menyatakan beberapa kasus di mana petugas penyelenggara pemilu mengalami peningkatan risiko komplikasi penyakit karena beban kerja yang tinggi.
Berbagai tantangan tersebut dianggap dapat memperparah tingkat demokrasi di indonesia, terutama karena kemunculan sentimen publik yang kerap meragukan kredibilitas hasil pemilu. “Setidaknya sejak Pemilu 2009, demokrasi kita mengarah pada demokrasi yang cacat. Itu berdasarkan data. Nah, apakah dengan Pemilu 2024 kita akan mengarah ke model yang sama, atau lebih baik, atau bahkan demokrasi kita akan mati. Akan kemana demokrasi kita akan sangat ditentukan oleh para pemangku kepentingan, setidaknya ada tiga, yaitu penyelenggara pemilu, dari sisi pemilih, tapi juga dari sisi peserta pemilu, itu juga tidak kalah penting,” ujar Dr.rer.pol. Mada Sukmajati, S.IP., M.PP., Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.
Menurut Mada, jika sampai demokrasi di Indonesia mati, maka ada kemungkinan kecil negara akan menjadi otoriter. “Kita harus belajar ya dari kejadian di Amerika, di mana Donald Trump terpilih sebagai pemimpin yang otoriter. Saya kira ini menjadi sangat penting, supaya kita bisa mengarahkan demokrasi dengan memilih pemimpin yang cenderung tidak otoriter,” tambahnya.
Penulis: Tasya