Kinerja Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi perhatian akademisi Universitas Gadjah Mada. Pasalnya, sepanjang 2020-2024 terdapat 71 Undang-Undang dari total 181 UU yang tidak dilahirkan melalui program legislasi nasional (Prolegnas) tetapi hanya diusulkan dalam daftar kumulatif terbuka (DTK). Padahal seyogyanya setiap UU yang dilahirkan DPR merupakan bagian dari program legislasi nasional.
Hal ini diungkapkan oleh Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H. LL.M saat membuka kegiatan ‘Penyerapan Aspirasi Program Legislasi Nasional Tahun 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025’ pada Senin (23/9) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM.
Andi berharap dengan adanya forum penyerapan aspirasi ini bisa memberikan masukan bagi Baleg karena penyusunan naskah hukum yang baik haruslah mendengar dan melibatkan partisipasi masyarakat. Baginya, meaningful participation menjadi bagian dari upaya penciptaan ekosistem open governance, di mana keterbukaan menjadi sebuah komitmen bagi negara demokrasi. “UGM mengucapkan terima kasih kepada Badan Legislasi dan khususnya Forkopimda DIY yang bersedia membersamai kami dalam memberikan masukan ke Baleg DPR RI guna melengkapi perencanaan program legislasi negara kita,” terangnya.
Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia FISIPOL UGM, Dr. Nurhadi Susanto, yang juga turut hadir berujar bahwa Badan Legislasi selama ini menjadi tumpuan dalam memproduksi UU di Indonesia. Sebagai ujung tombak dari pengaturan hukum, Baleg harus menciptakan hukum yang berkeadilan, memiliki kepastian, dan kemanfaatan yang tentunya harus selaras dengan tujuan negara. Menurut Nurhadi, Baleg harus dapat mengakomodasi agenda-agenda publik maupun sosial, dan tentunya harus selaras dengan agenda pemerintah. “Harapannya Baleg bisa mewujudkan kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat, ini yang harus terus kita pantau,” ucapnya.
Menghadirkan H. Abidin Fikri, S.H., M.H sebagai anggota DPR RI, forum dilanjutkan dengan sesi diskusi antara para peserta dengan perwakilan Badan Legislasi. Legislator Komisi XI ini juga menegaskan bahwa Baleg DPR RI terbuka terhadap berbagai masukan dari seluruh lapisan masyarakat. “Pada akhirnya setiap RUU yang akan ditetapkan menjadi Undang-Undang akan senantiasa mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat sehingga keterlibatan semua pihak dalam proses legislasi sangat dibutuhkan,” tegasnya.
Salah satu peserta, Kepala Biro Hukum Setda DIY, Hary Setiawan, S.H., M.H mengkritisi beberapa perubahan UU, salah satunya UU Nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.12 tahun 2011 terkait Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3 Perubahan) dilekatkan pada sebuah ketentuan yang disebut dengan carry over. Menurut Hary, tujuan dari kebijakan ini sudah baik karena memberikan payung hukum pembahasan rancangan undang-undang (RUU) lintas periode. Setiap RUU yang telah direncanakan, disusun, dan dibahas bersama oleh pembentuk UU (DPR, Presiden, dan/atau DPD), namun belum terselesaikan pada periode tertentu dapat dilanjutkan pada periode selanjutnya.
“Namun, fakta di lapangan tidak semudah itu, Pak. Banyak sekali RUU yang digantung karena misal sudah masuk ke dalam daftar Prolegnas, itu berarti baru masuk ke wishing list pembentukan UU, bukan waiting list,” ujarnya. Pada titik inilah, status carry over tidak membuat suatu RUU mendapatkan prioritas di antara RUU Prolegnas prioritas yang lain untuk diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini tentunya akan berdampak pada produk turunan dari UU yang digunakan oleh pemerintah daerah. RUU carry over hanya diberikan harapan bukan jaminan sehingga Hary berharap kebijakan tersebut dapat ditinjau ulang kembali.
Selain menghadirkan perwakilan dari Badan Legislasi DPR, forum penyerapan aspirasi ini juga dihadiri oleh mahasiswa, dosen, dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Yogyakarta. Dr. Abdul Gaffar Karim, M.A., Kepala Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM yang bertindak sebagai moderator dalam forum tersebut mengutarakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada hari itu adalah untuk menyumbang proses perbaikan demokrasi agar dinamika politik yang terjadi bisa membawa dampak positif bagi seluruh warga negara Indonesia. “Jangan sampai karena leluasa berpolitik, memainkan UU dan regulasi, sehingga lupa untuk menyejahterakan masyarakat,” tutupnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie