
Universitas Gadjah Mada menegaskan komitmennya menjadi kampus inklusif yang ramah bagi penyandang disabilitas. Komitmen ini dibuktikan dengan menerima mahasiswa dari kalangan disabilitas dan mengembangkan pembelajaran yang ramah disabilitas. Tiga orang mahasiswa selaku penyandang autisme membagikan pengalaman dan praktik baik selama berkuliah di kampus UGM yang diharapkan bisa memberi inspirasi serta motivasi calon mahasiswa dari penyandang disabilitas lainnya.
Ketiga mahasiswa itu adalah Riani Wulan Sujarrivani dari prodi S1 Ilmu Tanah angkatan 2024, Siham Hamda Zaula Mumtaza dari prodi S1 Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019 dan Muhammad Rhaka Katresna dari prodi Magister Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana.
Riani membagikan pengalamannya sebagai mahasiswa autisme di UGM. Ia menyampaikan bahwa dirinya telah diagnosis Autism Spectrum Disorder. Ia bercerita bahwa stigma yang ia dapatkan sebagai penyandang autisme adalah dianggap bodoh oleh masyarakat dan dianggap tidak mandiri hanya karena berbeda. “Beruntung, saya mendapat dukungan dari keluarga dan guru. Orang tua bahkan sempat berhenti bekerja karena melihat perkembangan saya yang berbeda dan ingin mendampingi saya lebih dekat. Ketika sekolah, saya juga mendapatkan dukungan moral dari para guru untuk belajar mandiri dalam kehidupan sehari-hari,” kata Riani dalam sharing session bertajuk berjudul “Refleksi Hidup Pendidikan dan Pengalaman Mahasiswa Autism dalam Pendidikan Tinggi di UGM” yang diadakan oleh Unit Layanan Disabilitas Universitas Gadjah Mada (ULD UGM) dalam rangka Memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Jumat (11/4) di Kampus UGM.
Sebagai penyandang autisme, Riani mengaku dirinya sempat mengalami kegagalan dalam mengikuti proses seleksi di tiga jalur seleksi masuk UGM pada tahun pertama. Namun, ia tidak menyerah dan akhirnya diterima pada tahun kedua melalui jalur Seleksi Nasional Berbasi Tes (SNBT).
Selama berkuliah, ujarnya, ia memiliki tantangan tersendiri dalam menyelesaikan tugas tepat waktu, serta belum terbiasa dengan laboratorium karena belum terbiasa dengan instrumen yang ada. Meski demikian, Riani menyampaikan bahwa ia mendapatkan dukungan dari pihak universitas dan fakultas, seperti perpanjangan waktu pengerjaan tugas dan akses ke Layanan Disabilitas, meski ia sempat mengalami kendala ketika mencoba mengajukan permohonan layanan pendukung di awal masa studinya.
Sementara Siham, mahasiswa yang lahir di Bukittinggi, berbagi kisahnya sebagai penyandang autisme dan gangguan kesehatan mental. Siham bercerita bahwa ia didiagnosis dengan Autism Spectrum Disorder saat masih di sekolah dasar dan telah menjalani berbagai terapi sejak usia dini meski diagnosis itu sempat disangkal oleh orang tuanya. “Pada saat awal saya diagnosis Autism Spectrum Disorder, orang tua saya, terutama ayah saya, menolak status Autism Spectrum Disorder saya. Dibilang, saya ini adalah orang normal, tidak ada kekurangan,” katanya.
Agar mendapatkan dukungan yang sesuai untuk Siham selama proses perkuliahan, ULD UGM melakukan asesmen dan pengaturan ulang dosen pengampu setiap semester, serta penyampaian informasi kepada asisten praktikum mengenai kondisi Siham. Ia juga mengaku mendapatkan pendampingan khusus untuk membantu proses belajar. Menurutnya, penting untuk adanya asesmen berkelanjutan yang dipantau dan ditindaklanjuti agar pendampingan dan penyesuaian selama perkuliahan tetap relevan dan efektif, serta kepastian akan layanan yang inklusif bagi mahasiswa dengan kebutuhan khusus seperti dirinya.
Autisme, menurutnya Rhaka, bukanlah sekadar kondisi kesehatan mental, melainkan disabilitas perkembangan. Sejak kecil hingga dewasa, ia mengalami perbedaan perkembangan yang tidak diidentifikasi secara tepat oleh sistem layanan kesehatan. Rhaka berbagi kisahnya dalam memperoleh diagnosis autisme di usia dewasa. Ia mengaku bahwa mendapatkan diagnosis autisme di usia dewasa bukanlah perkara mudah, apalagi di Indonesia. Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan. “Diagnosis autisme pada anak-anak saat ini cenderung lebih mudah karena banyak tenaga ahli yang fokus di sana. Tapi untuk usia dewasa, justru jauh lebih sulit,” ungkapnya.
Setelah lulus S1 Psikologi, ia akhirnya memilih untuk melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, yang menyatakan bahwa program ini terbuka terhadap mahasiswa autistik. Rhaka menekankan bahwa orang autis cenderung memiliki minat khusus. Setiap individu memiliki ketertarikan mendalam yang berbeda-beda. Dalam kasusnya, ia tertarik pada penelitian berbasis pengalaman autistik, bidang yang masih jarang diakui di Indonesia. Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya selalu mendukung minat risetnya, termasuk dalam membangun epistemologi studi yang berasal dari perspektif orang autistik. “Di prodi ini, saya bisa mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu tersebut,” katanya.
Selama berkuliah di UGM, Rhaka mendapatkan dukungan dalam bentuk perpanjangan tenggat tugas, pembelajaran berbasis proyek, serta metode yang fleksibel dan efektif. Ia menekankan bahwa diskriminasi yang didapatkannya menjadi alasan mengapa orang autistik harus mulai mengambil ruang, membangun cara sendiri untuk bersuara, agar dapat hidup sesuai dengan kebutuhan mereka, bukan ekspektasi pihak lain. “Saya punya diagnosis ganda, autisme dan ADHD. Tapi saya bangga. Jadi saya mengajak teman-teman semua untuk bangga. Kita mesti bangga menjadi diri sendiri, sebagaimana adanya,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. ULD UGM