Banyak jalan untuk meraih mimpi. Kendala ekonomi bukanlah halangan bagi siapapun untuk menggapai cita-cita termasuk mimpi mengenyam kuliah ke bangku universitas ternama di Indonesia. Hal itu lah yang dirasakan oleh I Wayan Sudiatmaja (18) yang berhasil menggapai salah satu keinginannya kuliah di kampus UGM.
Anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan I Nengah Raul Adyana (43) dan Ni Luh Sulastini (42), diterima kuliah di prodi Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Saat mendaftar dan registrasi, Wayan mengajukan untuk mendapatkan beasiswa KIP Kuliah. Namanya pun kini terdaftar sebagai calon mahasiswa penerima KIP Kuliah. Bahkan saat registrasi, ia mendapat subsidi UKT sebesar 75 persen.
Keluarga Wayan Sudiatmaja mengontrak di rumah bedeng ukuran 5×7 meter persegi dengan dinding berdempetan dengan penghuni kontrakan lain. Lokasi rumahnya berada di salah satu gang sempit hanya berjarak kurang dari 10 meter dari jalan raya Candidasa, Karangasem, Bali.
Sehari-hari Ayahnya menjadi pedagang telur keliling di pasar hingga warung-warung kelontong dan restoran di sekitar Karangasem. Telur dagangannya diambil dari pemilik kandang ayam petelur yang berada 3 kilometer dari rumahnya. Setidaknya rutin tiga kali dalam seminggu ia mengambil telur dari kandang. Setiap kali ambil sebanyak 25 karpet. Telur-telur tersebut lalu dibawa ke rumahnya untuk dibersihkan dan disusun rapi di wadah karpet. Jika laku, setiap satu karpet telur ia mendapat untung sebesar 3000 rupiah. “Kalau dihitung bersih rata-rata dapat 1,5 juta rupiah sampai 1,8 juta,” katanya.
Menjadi penjual telur keliling, kata Nengah berangkat dari masukan anak bungsunya yang meminta diirnya menjadi pedagang setelah mencoba beberapa kali ganti pekerjaan dari jadi buruh pengrajin bambu, tenaga security, hingga kuli bangunan. Saat pertama berjualan telur, Nengah mengaku ia dan istrinya mencoba berjualan telur ayam di pinggir jalan dengan hanya menjajakan beberapa karpet telur. “Waktu itu ada bule lewat, beli lima butir tapi dia bayar Rp 50 ribu. Saya jadi semangat untuk berjualan,” kenangnya.
Saat di awal berjualan telur, kata Nengah, ia harus membeli seluruh telur kepada pemilik kandang agar bisa dijual. Karena belum punya modal yang cukup, ia hanya membeli beberapa karpet telur saja untuk dijual.
Setelah tiga bulan berjualan, Nengah bercerita ia pernah membawa sekitar 20 karpet, namun tiba-tiba motornya jatuh dan 10 karpet telur rusak dan hampir separuh telur pecah sehingga tidak bisa untuk dijual. Nengah mengaku sedih dan sempat menyampaikan ke istrinya memilih berhenti untuk berjualan lagi. “Saya sempat bilang mau berhenti. Istri kasih semangat, karena tidak ada kerjaan lain,” ujarnya.
Namun setelah 2-3 tahun berjualan, kini Nengah bisa mengambil telur hingga 15 – 25 karpet sekaligus dengan memberi uang muka sebesar separuh dari seluruh jumlah karpet telur yang diambil. Sisanya baru dibayar setelah seluruh telur terjual habis. “Jika ada yang pecah, kita bawa pulang, digoreng,” katanya.
Nazar Sang Ibu
Nengah mengaku bersyukur dengan berjualan telur bisa menghidupi keluarganya. Selain dari penghasilan dari berjualan telur, keluarga ini juga mengandalkan dari pekerjaan sang ibu yang menjadi pengrajin tenun kain gringsing. Untuk satu kain dikerjakan sekitar 1 hingga 1,5 bulan tergantung dari ukuran kain yang dipesan. “Untuk satu kain tenun, saya dapat upah 600 ribu rupiah,” kata Ni Luh.
Penghasilan dari berjualan telur dan menjadi pengrajin tenun, bagi Ni Luh sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan membayar kontrakan rumahnya. Tidak terbesit dibenaknya untuk menguliahkan Wayan ke universitas. Yang terpikirkan olehnya adalah besarnya biaya yang harus mereka keluarkan jika Wayan kuliah nantinya. “Wayan sempat bilang mau kuliah. Sempat pula saya larang karena terbentur biaya. Dia bilang maunya nyoba lewat jalur KIP-K. Saya bilang, ya coba saja dulu,” katanya.
Ni Luh menuturkan, Wayan tidak hanya menyampaikan keinginannya melanjutkan kuliah namun juga menyampaikan pilihannya kuliah di UGM. “Saya sempat tanya, UGM itu dimana? Dia jelasin. Lalu saya tanya biaya kosmu nanti bagaimana?” kenangnya.
Meski berat untuk melepaskan anak mendaftarkan kuliah di Jawa, Ni LUh mengaku dirinya luluh saat melihat kegigihan anak sulungya tersebut. Yang bisa ia lakukan adalah dengan berdoa di setiap waktu sembahyang. Bahkan Ni Luh sempat bernazar, jika Wayan lulus, ia akan membawa sesaji pejati dalam tradisi Hindu untuk dibawa ke pura. “Karena sudah janji saya. Itu pun saya laksanakan pas hari odalan, kurang lebih satu bulan saat sembahyang setelah Wayan dapat pengumuman (kuliah) di UGM. Saya sendiri ke sana (Pura), bapak tidak tahu. Saya bawa ayam, pisang, jajan, buah-buahan. Saya antar ke pura,” katanya.
Wayan sendiri mengaku tidak mudah untuk membujuk kedua orang tuanya merestui dirinya mendaftar kuliah di UGM. Dia pun menjanjikan untuk mendaftar beasiswa KIP-K agar tidak membebani kedua orang tuanya. Wayan pun mafhum bahwa penghasilan orang tuanya sebagai pedagang telur keliling dan pengrajin tenun tentu akan kesulitan ika membiayai kuliahnya kelak. Wayan masih ingat, saat hari pengumuman SNBP, ia sempat menyembunyikan berita gembira kelulusannya tersebut untuk disampaikan langsung pada kedua orang tuanya. Baru keesokan harinya dirinya memberanikan diri menyampaikan hal itu, menunggu saat Ibunya selesai memasak di dapur dan ayah baru bersantai di teras setelah membersihkan telur-telur dagangannya. Wayan mengajak kedua orang tuanya duduk diatas dipan di ruang tengah.
“Saya lolos Pak,”
“Di mana lolos?” kata Ayah.
“Dapat di UGM,”
“Ya, syukurlah,”
Ni Luh terdiam agak lama. Wayan menduga ibunya kepikiran soal biaya. “Mungkin dalam hati beliau senang juga. Saya bilang, mumpung lagi registrasi, saya pakai yang KIP-K,” kata Wayan meyakinkan.
Menurut Wayan, sejak di bangku sekolah dasar, kedua orang tua selalu mendidiknya berperilaku hidup sederhana. Setiap berangkat sekolah, ia selalu rutin membawa bekal makan siang dari rumah.
Selain berprestasi di bidang akademik, Wayan ternyata sudah tertarik dengan olahraga bela diri pencak silat yang sudah ditekuninya sejak di bangku SMP. Ia pun suka mengikuti kejuaraan pencak silat antar pelajar se-provinsi Bali. Atas keteunannya berlatih silat, Ia pun sering langganan juara. “Terakhir kita dapat juara satu untuk Bali Open Competition tingkat nasional untuk kategori seni beregu,” katanya.
Selain aktif di kegiatan non akademis, Wayan juga memiliki nilai akademik yang bagus di kelas terutama untuk mata pelajaran di bidang sosial humaniora . Diterima kuliah di prodi Ilmu Komunikasi, Wayan mengaku ingin aktif di kegiatan organisasi dan kemahasiswaan. “Kalau kuliah nanti saya akan coba ikut organisasi. Saya ingin cari pengalaman baru, pengetahuan baru, mencoba cara peluang ikut organisasi dan perlombaan,” harapnya.
Nengah dan Ni Luh menyampaikan harapan agar Wayan mampu menjalani kuliahnya dengan baik agar bisa lulus meraih gelar sarjana dan membawa harum nama baik keluarga. “Secara pribadi kita ingin Wayan bisa membawa nama baik keluargadan punya masa depan. Yang pasti, kita sudah tua ini bingung cari kerja. Semoga apa yang menjadi cita-citanya Wayan, bisa terwujud. Semangatnya sungguh luar biasa,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson