
Berawal dari pengalaman pribadinya sejak mahasiswa menyaksikan teman-temannya yang menyukai makanan dismum namun kesulitan mencari restoran dimsum yang rasanya enak di lidah dengan harga terjangkau. Tercetuslah ide bisnis dari Buyung Samudra untuk merintis restoran dimsum dan Chinese food bernama Taigersprung. Alumnus Program Sarjana Internasional (IUP) Studi Manajemen FEB UGM angkatan 2019 mengaku keberhasilannya membangun bisnis usaha ini melalui proses panjang, dan ia memulai usaha saat masih menjadi mahasiswa. “Tepatnya di tahun 2020, bisnis ini saya jalankan bersama rekan satu angkatan, Ian Wirawan Jamesie”, katanya, Kamis (30/1).
Keinginan untuk terjun menjadi wirausaha di bisnis restoran menurut Buyung, sudah menjadi impiannya sejak lama. Dengan kesungguhan, usaha inipun telah berkembang dan sekarang ini sudah membuka empat cabang di tiga kota besar, yaitu di Yogyakarta , Semarang, dan Solo.
Buyung mengungkapkan ide awal mengembangkan Taigersprung muncul dari adanya celah di pasar makanan dimsum. “Dari situlah tercetus ide untuk membuka sebuah restoran dimsum yang enak dengan harga yang pas di kantong mahasiswa,” terangnya.
Buyung mengakui memiliki jiwa bisnis yang kuat karena berlatar belakang dari keluarga pengusaha. Iapun menjadi cukup paham bagaimana menjalankan usaha. Iapun mengaku membangun bisnis Taigersprung tidak selalu berjalan mulus. Bahkan tantangan harus ia hadapi di saat awal pendirian. Pada masa awal pendirian bisnis Taigersprung adalah saat masa awal pandemi Covid-19. “Didirikan di awal masa pandemi Covid-19 pada April 2020, menjadikan penjualan terkendala karena adanya pembatasan aktivitas dan kekhawatiran masyarakat untuk membeli makanan di luar”, ungkap Buyung.
Dihadapkan pada kondisi darurat, iapun mengatur strategi untuk menjaga keberlangsungan usaha. Sebagai CEO Taigersprung, ia bersama Ian memutuskan untuk memangkas biaya operasional. Keputusan lainnya, mereka tidak mau memotong gaji karyawan melainkan keduanya memilih untuk tidak mengambil gaji mereka selama empat bulan pertama. Tak hanya itu, mereka pun berbagai pekerjaan. Beberapa pekerjaan seperti membeli bahan baku di pasar dan menjadi kasir mereka lakukan sendiri.“Paling down ketika Covid karena banyak orang yang gak berani makan di luar dan beli makanan lewat ojol. Saat itu, kami tahu kalau penjualan gak akan naik, jadi kami akhirnya memutuskan untuk memotong biaya operasional,” ucap Buyung mengenang.
Menjalani kuliah sekaligus berbisnis tentu bukan persoalan mudah. Pandai-pandai mengatur waktu, dan Buyung bersyukur merasa tidak kesulitan dalam mengatur waktu antara kuliah dan bisnis. Iapun bersyukur karena pembelajaran dilakukan secara daring selama pandemi. Hal ini yang memberinya keleluasaan menjalani pembelajaran kelas secara online sembari mengelola restoran. “Tantangan dalam beraktivitas kuliah dan menjaga restoran ini berlangsung selama kurang lebih 2-3 bulan di awal pendirian. Sedangkan tantangan tersulit adalah ketika harus menekan biaya operasional”, terangnya.
Buyung tak henti-hentinya bersyukur bisa berkesempatan kuliah di FEB UGM. ia mengaku bisa menerapkan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan untuk menyokong perjalanan bisnisnya. Banyak mata kuliah yang sangat relevan yang ia dapatkan untuk mengembangkan bisnisnya, salah satunya ilmu mengenai perilaku konsumen. Pengetahuan dari mata kuliah ini sangat membantunya menciptakan Ideal Customer Avatar (ICA), yakni sebuah profil yang merinci karakteristik konsumen ideal suatu bisnis, seperti demografi, psikografi, perilaku, kebutuhan, dan hambatan.
Dengan memahami Ideal Consumer Avatar (ICA), Buyung mampu mengembangkan menu dan strategi bisnis Taigersprung secara lebih efisien tanpa memerlukan riset yang memakan banyak waktu dan biaya. Karenanya, iapun berpesan kepada mereka yang ingin memulai bisnis agar berani mengambil langkah pertama.
Menurut Buyung sangat penting membangun optimisme dalam memulai suatu usaha. Optimisme yang tidak terlalu berlebihan. “Kedepan, saya berharap usaha ini memberi dampak positif yang lebih luas kepada masyarakat, terutama pelanggan dan karyawannya. Saya ingin memberikan dampak ke masyarakat dan membuka lapangan pekerjaan. Saat ini ada 75 karyawan di Taigersprung dan mereka inilah yang memotivasi kami untuk bisa berkembang lebih besar lagi,” pungkasnya.
Penulis. : Najwah Ariella Puteri & Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Penulis : Agung Nugroho