
Varietas padi Gamagora 7 menjadi salah satu inovasi unggulan Universitas Gadjah Mada dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Di balik pengembangannya, terdapat sosok dosen Fakultas Pertanian UGM, Ir. Supriyanta, M.P., yang memilih menekuni pemuliaan padi sebagai jalan hidup. Ia tumbuh besar di lingkungan pertanian sehingga sejak kecil sudah terbiasa dengan sawah dan kehidupan petani. “Sejak kecil saya akrab dengan sawah karena ayah dan pakde saya bekerja di sektor itu. Dari situ saya bercita-cita menciptakan varietas padi unggul yang bisa membuat petani bahagia,” ujarnya, Jumat (19/9).
Ketertarikan itu kemudian membawanya menjadi seorang breeder. Supriyanta menyebut bahwa penelitian di skala lapangan dan laboratorium bukanlah hambatan utama, lain halnya ketika memasuki proses pelepasan varietas. Ia menekankan bahwa prosedur panjang dan biaya besar sering kali menjadi batu sandungan. “Kalau soal pemuliaan saya jalani dengan enjoy. Karena bagi saya itu kehidupan, yang lebih rumit justru saat pelepasan varietas. Selain prosedurnya panjang, biayanya juga besar,” jelas Supriyanta.
Pengalaman masa kecil membuatnya merasakan langsung beban yang dihadapi petani. Ia sering membantu pekerjaan sederhana di sawah sebelum berangkat sekolah, sehingga memahami betul realitas di lapangan. Dari situ muncul tekad untuk memberi manfaat nyata lewat penelitian. “Saya tahu persis bagaimana rasanya jadi petani. Itu bukan tantangan, tapi bagian dari hidup saya,” kenangnya.
Jalan hidupnya semakin jelas ketika ia bertemu para mentor semasa kuliah. Salah satunya adalah almarhum Prof. Dr. Ir. Soemartono Sastrowinoto, dosen yang pertama kali mengenalkannya pada penelitian padi dan memberi arah baru bagi langkah akademiknya. Momen itu menjadi titik balik yang menguatkan pilihannya. “Ketika bertemu Pak Martono, saya tiba-tiba mantap memilih padi sebagai bidang penelitian. Itu titik balik saya,” katanya.
Bagi Supriyanta, pemuliaan padi adalah pendidikan sepanjang hayat. Ia memandang proses itu sebagai perjalanan panjang yang tidak pernah selesai, selama peneliti terus belajar dan berkarya. Baginya, menghasilkan varietas unggul bukanlah target jangka pendek, melainkan pengabdian seumur hidup. “Bagi saya pemuliaan itu long life breeding. Jadi selama hidup, saya terus belajar dan menghasilkan varietas. Itu bukan pekerjaan sesaat, tapi perjalanan panjang,” tuturnya.
Untuk menggambarkan perjalanannya, Supriyanta kerap menggunakan analogi sederhana. Ia menyamakan pemuliaan dengan kapal tua yang pasti mengalami kebocoran, namun bisa terus berlayar selama ada pompa untuk membuang air. Analogi itu menggambarkan pandangannya bahwa tantangan akan selalu ada, tetapi harus dihadapi dengan konsistensi. “Selama kecepatan kita memompa lebih besar dari air yang masuk, kapal akan tetap berjalan. Begitu juga pemuliaan, selalu ada tantangan, tapi kita harus terus bergerak,” ujarnya.
Lebih jauh, ia memandang pekerjaannya bukan hanya sebagai profesi, melainkan ibadah. Supriyanta menegaskan bahwa ilmu pengetahuan harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya petani. Baginya, penelitian hanya bermakna jika hasilnya benar-benar digunakan di lapangan. “Saya selalu berpikir bagaimana varietas ini bisa menjawab tantangan petani. Bagi saya, ilmu harus kembali ke masyarakat,” katanya.
Kini, ketika Gamagora 7 mulai dikenal luas, Supriyanta menyimpan harapan besar. Ia ingin varietas ini benar-benar menjadi solusi yang membahagiakan petani dan memberi dampak positif bagi ketahanan pangan. Baginya, hal itu sejalan dengan niat yang telah ia pegang sejak awal berkarier. “Saya sudah mewakafkan hidup saya untuk petani. Harapan saya Gamagora 7 bisa terus berkembang dan benar-benar membawa kebahagiaan bagi mereka,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie