
Dosen sekaligus peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Donan Satria Yudha, S.S., M.Sc., bersama tim kolaborator BRIN berhasil mengidentifikasi spesies baru kadal buta tak bertungkai (genus Dibamus) dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Spesies yang diberi nama Dibamus oetamai ini tidak hanya memperkaya keragaman hayati Indonesia, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya menjaga hutan tropis yang menjadi habitat utama satwa endemik. Adapun laporannya dipublikasikan di Journal of Asian Biodiversity Taprobanica, 25 April 2025.
Donan menceritakan bahwa penemuan tersebut pertama kali dimulai dari keikutsertaannya dalam kegiatan Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi tahun 2013 yang diprakarsai oleh Kopassus TNI AD. Donan mengatakan bahwa pada saat keikutsretannya dalam ekpedisi tersebut, salah satu mahasiswa dari Fakultas Biologi UGM yang tengah mencangkul tanah, menemukan spesimen kadal tak bertungkai yang aneh dan mencurigakan. Sampel itu kemudian dikirimkan kepada Donan di Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM.
Sampel tersebut kemudian ia kaji bersama Awal Riyanto, ahli herpetologi dari LIPI (kini di Kelompok Riset Herpetologi, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN). Kolaborasi dalam proses identifikasi ini juga melibatkan mahasiswa bimbingannya, Maximilianus Dwi Prasetyo, yang menjadikan penelitian ini sebagai topik skripsinya. “Penelitian Mas Maxi yang saya bimbing ini kemudian dibantu oleh Bapak Thasun Amarashinge dari BRIN beserta kolega beliau. Akhirnya teridentifikasi sebagai spesies baru dan diterbitkan dalam jurnal tersebut,” ungkap Donan ketika diwawancara, Kamis (11/9).
Lebih lanjut, Donan menjelaskan bahwa spesies kadal buta yang ditemuinya ini memiliki beberapa karakter morfologi yang membedakannya dari Dibamus lain, terutama pada bagian kepala. Perbedaan utamanya terletak dibagian kepala, yakni tidak adanya sutura (garis-garis) pada bagian medial dan lateral dari rostral (moncong), dan sutura di bagian labial dan nasal lengkap. “Sisik bagian frontalnya juga lebih besar daripada frontonasal. Kemudian sisik interparietal tampak jelas lebih kecil dari frontonasal, sisik nuchal berjumlah 4-6 buah, sisik postocular dua buah, sisik supralabial satu buah, dan masih ada lagi karakter pembeda di bagian badan dan ekornya,” terangnya.
Meski menjadi temuan penting, Donan menekankan bahwa keberadaan Dibamus oetamai ini berpotensi terancam. Hal ini dikarenakan spesies tersebut bersifat endemik Pulau Buton, dengan sebaran yang sejauh ini baru diketahui di kawasan hutan lindung Kakenauwe dan Lambusango pada ketinggian di bawah 400 mdpl. Habitat spesies adalah hutan hujan musiman dengan serasah tebal. “Jadi kemungkinan besar kelestarian spesies ini terancam di masa depan karena spesies ini hidupnya tergantung pada keberadaan hutan,” ujar Donan.
Donan mengatakan fokus utama mereka adalah penemuan spesies baru dan penelitian ini menjadi penanda penting bahwa masih banyak spesies baru di kawasan hutan Indonesia, khususnya di pulau-pulau. “Jika memungkinkan, saya ingin memberikan masukan kepada Pemerintah untuk tidak membuka hutan atau mengubah hutan sebagai tempat aktivitas manusia, karena masih banyak spesies baru di dalam area berhutan dimanapun, terutama di pulau-pulau di Indonesia seperti Pulau Buton,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok.BRIN