Menginjakkan kaki di Antartika mungkin akan menjadi mimpi yang mustahil terwujud bagi kebanyakan orang. Namun tidak bagi Gerry Utama, 31 tahun. Alumnus Fakultas Geografi UGM ini mewujudkan mimpinya melakukan ekspedisi ke antartika. Gerry datang ke Antartika sebagai bagian dari misi Russian Antarctica Expedition (RAE) yang berlangsung selama Februari—Juli 2024. Gerry saat itu sedang mengikuti program Magister Paleogeografi di Saint Petersburg State University, Russia. “Sejak awal perkuliahan saya sudah ditawari untuk ikut program tersebut, hanya saja memang saat ikut program tersebut, kami sudah harus tahu akan meneliti apa,” kata Gerry, Rabu (22/1).
Ia sendiri memilih menekuni bidang geomorfologi dan juga memiliki kemampuan dalam membaca radar. Keikutsertaannya melakukan ekspedisi ke Antartika mengantarkan Gerry menjadi orang Indonesia dan ASEAN pertama yang mengikuti program RAE yang sudah berjalan sebanyak 69 kali. Ia berangkat bersama dengan tim RAE menggunakan kapal riset Akademik Tyroshnikov milik Rusia. Kapal tersebut berlayar selama tiga pekan dan sempat berhenti di Cape Town, Afrika Selatan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Antartika.
Mobilisasi Gerry dan tim RAE di sana diwajibkan untuk menggunakan helikopter sehingga setiap harinya tim peneliti akan kembali ke kapal. Ia ditugaskan di Stasiun Mirny, yang merupakan salah satu stasiun pemantauan tertua di Antartika.
Riset yang dilakukan Gerry berkaitan dengan rekonstruksi atlas baru wilayah Pulau King George untuk pemerintah Rusia. Ia melakukannya dengan menyederhanakan variabel-variabel yang ada menjadi pemetaan geomorfologi yang dapat diimplementasikan dengan karakteristik khusus. Selain itu, Gerry dan tim juga menemukan sebuah fosil kayu berusia 130 juta tahun lalu. “Hal ini bisa membuktikan bahwa dulunya Antartika pernah ditutupi tanaman hijau seperti bagian bumi lainnya,” kata alumnus prodi Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi UGM ini.
Kondisi Antartika yang tidak menentu membuat jadwal pekerjaan harus diatur sedemikian rupa. Menurut Gerry, jam mandi diatur. Kemudian, jam setiap hari direset, artinya jam pada hari tersebut dapat maju lebih awal atau mundur. Begitu juga dengan arah kiblat yang dapat berganti setiap harinya, tambah Gerry. Kondisi ini, menurutnya, dapat diperparah dengan kondisi angin kencang yang bisa sampai 300 km/jam sehingga tidak jarang, ia dan timnya harus bermalam di stasiun.
Tantangan di Antartika juga turut dialami oleh Dr. Nugroho Imam Setiawan. Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM ini pernah menjelajah Antartika pada bulan November 2016 hingga Maret 2017. Ia mengaku tubuhnya merasakan gatal-gatal setiap saat sehingga ia harus meminum obat setiap harinya untuk mencegah reaksi tersebut. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya penghangat di tenda dan kewajiban untuk harus menggunakan pakaian tiga lapis setiap saat. “Apalagi kami tidak bisa mandi,” canda Nugroho.
Bahkan feses yang diproduksi harus dibawa pulang sebab kondisi suhu yang ekstrim membuat bakteri pengurai kotoran tidak dapat hidup. Nantinya, feses ini dibawa kembali dan akan dibakar di kapal.
Nugroho awalnya tidak pernah berpikir dirinya akan menginjakkan kakinya di benua paling selatan di Bumi. Kisahnya dimulai saat ia menempuh kuliah S3 di Jepang pada tahun 2010. Jepang merupakan salah satu negara yang rutin mengadakan ekspedisi dan mengajak peneliti asal Asia lainnya ke Antartika melalui lembaga Japan Antarctic Research Expedition (JARE). Nugroho sudah mendaftar program tersebut pada tahun 2011, tetapi program tersebut dibatalkan sebagai imbas tsunami yang melanda Jepang pada Maret 2011. “Saya saat itu sudah mendaftar, tetapi program ditutup dan dananya dialihkan untuk pemulihan pasca tsunami,” ujar Nugroho.
Ia baru dihubungi kembali pada 2015 saat ia telah menyelesaikan program doktor dan dengan segera Nugroho mengikuti tahap seleksi berupa wawancara dan pemeriksaan kesehatan. Ia kemudian bergabung bersama lima orang peneliti Jepang dan dua orang lainnya dari Mongolia dan Thailand.
Menjadi peneliti di Antartika berarti harus mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Hal ini juga harus dilewati oleh Nugroho. Selama sebulan, ia harus mengikuti pelatihan insentif seperti cara penggunaan peralatan di salju, tata cara berpakaian, pelatihan bertahan hidup di kondisi darurat, pendirian tenda, cara memasak dan buang air.
Kondisi Antartika dapat dibilang jauh berbeda daripada kondisi belahan dunia manapun. Nugroho mengenang Antartika sebagai bukan bagian dari bumi sebab kondisinya yang putih bersih sejauh mata memandang. “Saya saat itu bergabung dengan delapan orang dalam tim geologi. Saat itu, Antartika sedang musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap harinya, sedangkan suhu udaranya berkisar -5 derajat di malam hari dan -2 derajat di siang hari,” kenang Nugroho.
Selain itu, kekosongan suara membuat suasana menjadi hening. Ia mengingat saat itu hanya ada suara ia dan timnya serta bunyi-bunyian es yang mulai mencair sebab perubahan iklim, sesekali bertemu dengan penguin dan anjing laut Weddell.
Keseluruhan tim JARE 58 saat itu terdiri atas 80 anggota dan 35 orang diantaranya merupakan peneliti. Penelitian saat itu dibagi dalam sepuluh topik, antara lain meteorologi, atmosfer, biologi terestrial, oseanografi, geofisika, geodesi, dan geologi. Proses penelitian sendiri berlangsung selama empat bulan pada 27 November 2016 hingga 22 Maret 2017. Akan tetapi, menurutnya, waktu penelitian hanya dapat berjalan efektif selama 30 hari. Hal ini sebab cuaca di lokasi penelitian sangat ekstrim dan sering terjadi badai angin sehingga tidak jarang tim peneliti harus menunggu cuacanya membaik.
Nugroho menjelaskan setiap harinya tim geologi menjalankan rutinitas mengumpulkan sampel batuan metamorf di setiap lokasi penelitian. Ada 8 titik survei geologi yang mereka jelajahi, yaitu Akebono, Akarui, Tenmodai, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Langdove, West Ogul, Mt. Riiser Larsen. “Kami berusaha menyingkap batuan metamorf, batuan tertua di bumi berusia 3,8 miliar tahun yang ada di Antartika. Kami mencoba merekonstruksi ulang dan mendetailkan data-data yang sudah ada sebelumnya tentang batuan-batuan metamorf yang ada di Antartika, mulai dari komposisi, usia, lalu rekonstruksi proses pembentukan batuan-batuan tersebut,” ujarnya.
Selama ekspedisi Nugroho hanya menjumpai dua jenis batuan di lokasi penelitian. Batuan yang banyak ditemukan adalah batuan metamorf dan granitodis maupun perpaduan keduanya yaitu migmatit. Batuan dengan struktur sarang lebah atau yang dikenal dengan honeycomb structure banyak ditemukan pada batuan. Struktur ini terbentuk akibat gerusan angin dengan iklim kering di permukaan batuan. Nugroho memaparkan bahwa jenis batuan yang dia temukan ini mirip dengan batuan di Sri Lanka. Menurut Nugroho, hal ini sebab dulunya Antartika dan Sri Lanka merupakan satu daratan yang sama.
Keikutsertaan Gerry dan Nugroho sebagai alumni UGM ini menjelajah Antartika, mencatatkan nama mereka dalam sejarah bahwa hanya ada empat orang Indonesia yang telah sampai ke Antartika. Hal ini ini menjadi sebuah prestasi tersendiri sebab cita-cita UGM untuk mendunia. Keduanya menyampaikan harapan agar hal ini tidak berhenti pada mereka saja. “Semoga kawan-kawan UGM yang lain bisa melanjutkan ke Antartika,” harap Gerry.
Ia terus berharap agar pemerintah Indonesia dapat peduli dengan Antartika yang berada di samudera yang sama dengan Indonesia. Ia menyebutkan bahwa semua pihak perlu sadar bahwa saat Antartika bermasalah, dunia, termasuk Indonesia akan secara tidak langsung terkena dampaknya. Dengan demikian, Indonesia dapat menyiapkan lembaga riset Antartika untuk secara langsung hadir dan mengkaji Antartika.
Selaras dengan Gerry, Nugroho menyebut bahwa UGM dan Indonesia untuk bergegas menyikapi isu-isu strategis seperti geopolitik dan perubahan iklim yang erat kaitannya dengan eksistensi Antartika saat ini. “Antartika seperti mesin waktu yang menyimpan sejarah bumi di masa lalu dan dapat menjadi informasi untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan di masa depan sehingga perlu bagi kita untuk menyiapkannya,” pungkas Nugroho.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok Pribadi