![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-07-at-11.29.02-680x510.jpeg)
Menggunakan kursi roda listrik, Ida Mujtahidah begitu sumringah saat Dekan Fisipol UGM Dr. Wawan Masudi datang menghampirinya seraya menyerahkan ijazah. Usai bersalaman dengan Dekan, matanya berkaca-kaca, ia tidak bisa menyembunyikan perasaan senang dan bahagianya sebagai salah satu lulusan yang lulus magister dengan predikat cumlaude. Berhasil meraih gelar S2, menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya.
Ida, biasa ia dipanggil, menjadi salah satu dari 841 lulusan Program Magister, Spesialis, Subspesialis, dan Doktor yang diwisuda pada Program Pascasarjana di Grha Sabha Pramana UGM pada akhir Januari silam. Ida berhasil menyelesaikan studi tepat waktu di Program Studi S2 Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) dengan semangat dan dedikasi yang konsisten. Bahkan ia tercatat lulus dengan predikat cumlaude karena memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,9.
Ida bercerita, keluarga juga memiliki peran yang sangat besar dalam perjalanan kuliahnya. Baginya, keluarga selalu menjadi sumber dukungan moral, emosional, dan logistik yang dibutuhkan termasuk fasilitas kursi roda listrik.
Meski begitu, Ida mengaku sempat mengalami mental breakdown ketika menjalani masa kuliah. Beruntung, sesama Awardee LPDP turut membantunya mengatasi masa sulit tersebut dengan memastikan dirinya merasa aman, mendukung agar ia tetap percaya diri, serta mendampingi Ida selepas konsultasi rutin dengan psikolog. “Tentu saja masih ada ruang perbaikan untuk meningkatkan awareness serta membangun budaya yang lebih inklusif di UGM,” tuturnya.
Sebagai penyandang disabilitas, Ida menjelaskan tantangan terbesar yang harus dihadapi saat menjalankan perkuliahan adalah menjaga stamina fisik dan menghadapi keterbatasan mobilitas. Namun, dengan jadwal yang terorganisir, dukungan keluarga, serta semangat untuk segera lulus kuliah, ia berhasil melewati berbagai rintangan dan tetap fokus pada tujuan.
Dukungan layanan aksesibilitas yang disediakan Fisipol dan UGM secara umum, seperti lift yang aktif untuk seluruh lantai, adanya ruangan khusus untuk pengunjung disabilitas di Perpustakaan dan Arsip, serta tambahan jalur landai di FISIPoint menurutnya sangat membantu. Bahkan sistem pembelajaran hybrid antara daring dan luring dengan pengumpulan tugas yang bisa dilakukan secara daring juga dirasa makin memudahkan dirinya mengerjakan tugas perkuliahan. “UGM telah menyediakan berbagai fasilitas ramah disabilitas, seperti rampa, handrail dan layanan pendukung. Namun, peningkatan masih dibutuhkan, misalnya dalam hal penyediaan transportasi kampus yang lebih inklusif dan aksesibilitas untuk gedung tua,” jelasnya.
Ida memulai studi sejak 2023. Selama kuliah, ia aktif melakukan advokasi bagi penyandang disabilitas. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai konferensi. Ida sempat terpilih sebagai best paper presenter pada 6th International Conference on Interreligious Studies (ICONIST) yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dirinya juga terpilih menjadi partisipan dalam Sekolah Riset Advokasi Disabilitas 2024 yang merupakan kolaborasi antara SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak) dan KONEKSI (Knowledge Partnership Platform Australia – Indonesia).
Ida patut berbangga karena pada program tersebut hanya 21 orang yang dipilih dari ratusan periset disabilitas di seluruh Indonesia. Selain itu, Ida juga diundang sebagai peserta pada Konferensi Internasional Pengetahuan dari Perempuan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas) Perempuan di Universitas Brawijaya pertengahan September 2024 lalu.
Kini setelah lulus, Ida berharap bisa berkontribusi lebih luas dalam advokasi penyandang disabilitas, khususnya dalam membangun kebijakan inklusif. Ia pun berencana untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Menurutnya, pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas. “Kampus tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan jaringan profesional yang diperlukan untuk bersaing,” ujarnya.
Di sisi lain, imbuhnya, masyarakat juga perlu mendukung para penyandang disabilitas dengan membangun pemahaman tentang kebutuhan mereka, menghapus stigma, dan memberikan kesempatan yang sama di berbagai aspek, termasuk pendidikan dan pekerjaan.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Dokumentasi Pribadi