
Menjadi mahasiswa termuda yang diluluskan UGM pada Wisuda Sarjana dan Sarjana Terapan Periode II, Rabu (27/8) lalu, tentunya menjadi kebanggan tersendiri oleh Duiddo Imani Muhammad yang berhasil lulus S1 prodi Ilmu Hukum pada usia 20 tahun 5 bulan yang berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun 7 bulan dengan perolehan IPK 3,64. Padahal usia rata-rata lulusan Program Sarjana adalah 22 tahun 6 bulan 15 hari.
Oi, demikian ia akrab disapa, mengaku bisa lulus di usia 20 tahun dikarenakan mulai mendaftar masuk pendidikan sekolah dasar di usia 5 tahun 7 bulan. Lalu saat di bangku SMA, ia mengikuti kelas akselerasi sehingga bisa lulus lebih cepat karena ia bisa menyelesaikan pendidikan SMA dalam waktu 2 tahun. “Saya masuk SD di umur 5 tahun 7 bulan dan ikut akselerasi pas SMA lewat program Kelompok Belajar Cepat,” katanya, Rabu (3/9).
Ketertarikannya pada bidang ilmu hukum menurut Oi berawal dari latar belakang pendidikan keluarganya yang merupakan lulusan hukum membuatnya sudah mengetahui prospek kerja lulusan Hukum seperti apa. Ia pun sudah merencanakan untuk menjadi notaris sejak ia masih di bangku SMA. Cita-cita ini pula lah yang mengantarkan Oi untuk magang di kantor notaris, dan menerbitkan artikel jurnal tentang RUPS. Dalam jurnalnya tersebut ia membahas tentang kekosongan hukum antara profesi notaris yang harus berhadapan langsung dengan klien dan juga fakta bahwa RUPS saat ini sudah bisa dilakukan secara elektronik. “Jadi aku sempat magang di kantor notaris, dan aku nemu masalah ini bahwa notaris itu kan harus berhadapan dengan klien secara fisik. Di undang-undangnya seperti itu. Sedangkan RUPS ini kan sudah bisa dilaksanakan secara elektronik. Sehingga ada tabrakan, ada kekosongan hukum mengenai pengaturan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta tapi harus fisik,” katanya.
Selama perkuliahan, selain fokus pada akademik, ia juga memutuskan untuk mengembangkan potensi dirinya melalui aktif berorganisasi. Oi memilih DEMA Justicia sebagai tempatnya untuk terus belajar. Menurut Oi, melalui organisasi ia dapat belajar untuk memanajemen risiko, manajemen emosi, dan juga manajemen energi. “Saya mendapatkan pengalaman sebagai pemimpin, pengalaman sebagai mahasiswa UGM yang seharusnya merakyat, yang seharusnya humble ya. Jadi, di organisasi itu, saya semua dapat,” ungkapnya.
Perihal skripsinya, Oi sedikit bercerita bahwa judul yang ia ambil adalah soal Analisis Perubahan Tanah Surat Ijo (Izin Pemakaian Tanah) menjadi Tanah Bersertifikat Hak Guna Bangunan di Kota Surabaya”. Dalam skripsinya ini, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memiliki banyak tanah yang tersebar di wilayah kota. Namun, ternyata tanah tersebut telah dihuni dan digunakan oleh masyarakat sejak turun temurun. “Nah, jadi aku bahas apakah mungkin tanah dari Pemkot Surabaya itu bisa dialihkan menjadi tanah hak guna bangunan,” ujarnya.
Ia mengaku bahwa selama pengerjaan skripsinya, ia lumayan banyak menghadapi kendala-kendala di lapangan. Namun, pengalamannya sebagai Kepala Departemen di DEMA Justicia memuatnya mampu untuk menyelesaikan kendala tersebut dengan lebih mudah. Salah satunya adalah ia mengetahui cara untuk lebih mudah mendapatkan data untuk penelitiannya tersebut. “Jadi manajemen keputusan itu bakal ngaruh ternyata,” jelas Oi.
Ia pun berpesan kepada para teman-teman lain untuk tidak mudah merasa FOMO (fear of missing out) dengan mengejar sesuatu yang tidak begitu kita butuhkan. Menurutnya, setiap orang memiliki garis nasib yang berbeda-beda dan juga hebat dalam bidangnya masing-masing. Selain itu, ia pun berpesan untuk tidak meremehkan orang-orang yang usianya di bawah kita, baik dalam cara berpikir maupun pengalamannya. Lebih lanjut, ia pun mengingatkan untuk tidak memaksakan diri baik secara mental, fisik maupun secara pikiran. Yang tak kalah penting adalah menyiapkan rencana masa depan yang baik, tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. “Terus semangat, pantang menyerah dan jangan lupa adaptif,” pesannya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Duiddo