Yosia Deby Septiyawati Hasibuan harus melihat layar gawainya berkali-kali untuk meyakinkan diri bahwa ia diterima di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM. Ia tidak menyangka dirinya bisa menyandang status sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Kesehatan UGM setelah diterima lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Kuliah di UGM memang sudah sejak lama menjadi impian Yosia dan sang kakak. Meski keluarga mereka memiliki kemampuan ekonomi yang pas-pasan sehingga kedua bersaudara ini tumbuh besar tanpa fasilitas yang banyak dimiliki teman-teman mereka, mereka punya mimpi yang besar untuk kuliah di kampus terbaik, sebagai batu loncatan untuk meraih kesuksesan di jalan karier yang mereka pilih masing-masing.
Empat tahun sebelumnya, kakak tertua Yosia telah lebih dulu berjuang mengikuti seleksi masuk UGM lewat jalur SNMPTN, SBMPTN, hingga Seleksi Mandiri, namun belum berhasil diterima sebagai mahasiswa UGM. Kegagalan sang kakak mendorong Yosia untuk berusaha lebih keras, ia sadar dirinyalah yang bisa membuat mimpi keluarganya tetap menyala.
“Sebenarnya waktu kecil saya belum tahu banyak kampus, tapi saya tahu yang bagus itu UGM. Jadi, sejak kecil cita-citanya masuk UGM, apalagi kakak juga ingin masuk UGM. Karena kakak belum rezekinya di UGM saya semakin semangat untuk mengejar UGM, setidaknya salah satu dari kami berdua ada yang berhasil menggapai UGM,” ucapnya.
Pencapaian Yosia membawa kebahagiaan bagi kedua orang tua dan keluarga besar mereka. Kebahagiaan mereka semakin sempurna ketika mengetahui bahwa Yosia ditetapkan sebagai salah satu penerima UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100% sehingga dibebaskan dari biaya kuliah.
Keluarga ini memang tidak memiliki penghasilan yang tetap setiap bulannya. Sang ayah merantau dari kampung halamannya di Tapanuli ke Pulau Jawa puluhan tahun lalu, berharap memperoleh pekerjaan yang layak berbekal ijazah STM. Ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kesuksesan tidak semudah itu bisa diperoleh.
Baik ketika masih berada di Jakarta, hingga saat ia pindah ke Kediri pasca krisis moneter 1998, ayah Yosia lebih sering bekerja serabutan. Selama beberapa tahun terakhir ia memperoleh penghasilan dari jual beli barang bekas atau membantu mencarikan barang-barang tertentu dengan komisi seadanya.
Pengalaman pahit merasakan sulitnya mencari pekerjaan membulatkan tekadnya dan sang istri untuk berjuang agar anak-anak mereka bisa menyandang gelar sarjana. Namun, perasaan mereka campur aduk melihat kedua anak mereka punya mimpi besar untuk berkuliah di UGM. Mereka berusaha untuk tetap suportif, meski dalam hati menyimpan kekhawatiran akan biaya yang harus disiapkan untuk kuliah.
Mereka sudah sempat membayangkan, bahwa mereka mungkin harus mencari pemasukan tambahan atau mencari pinjaman untuk membiayai kuliah Yosia di perguruan tinggi yang bergengsi. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka, bahwa mereka bisa melihat anak mereka memperoleh pendidikan di kampus terbaik tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya kuliah.
“Kami mendorong anak-anak kuliah, tapi kami juga berharap mereka mengerti kondisi orang tua. Waktu kami tahu Yosia diterima di UGM kami ikut senang, tapi dalam hati takut juga. Tidak menyangka akhirnya bisa mendapat UKT 0, ini berkat yang luar biasa dari Tuhan,” kata Indah, ibunda Yosia.
Tidak mudah bagi Indah untuk melepas anak bungsunya merantau ke kota pelajar, namun ia menyadari langkah berani Yosia akan membawa kebaikan yang besar. Ia tidak punya banyak tuntutan atau ekspektasi yang terlampau tinggi untuk Yosia. Ia hanya ingin Yosia bisa menjalani studinya di UGM dengan baik dan nantinya memperoleh pekerjaan yang layak di institusi kesehatan, atau bahkan hingga bisa membuka klinik sendiri seperti impian Yosia.
“Kami hanya meminta agar anak-anak berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik agar nanti juga bisa membantu keluarga. Harapan kami hanya itu,” tutur Indah.
Penulis: Gloria