
Tiga orang lulusan dari prodi Kedokteran, Fakultas Ilmu Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada berhasil meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna 4.00 pada wisuda sarjana dan sarjana terapan periode III tahun akademik 2024/2025 pada Rabu (27/5) lalu di Grha Sabha Pramana. Ketiga wisudawan sarjana kedokteran tersebut adalah yakni Claire Emmanuel, Zabrina Kyla Setyawan, dan Inzam Ilmi Kazamzam. Padahal Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata untuk 1.291 lulusan Program Sarjana Periode ini adalah 3,60.
Claire, perempuan asal Jakarta ini mengaku senang dan bersyukur atas dukungan keluarga, teman, dosen, dan tenaga kependidikan selama perkuliahan sehingga ia bisa lulus dengan nilai IPK tertinggi. “Saya sangat bersyukur sekali bisa lulus dengan IPK sempurna,” katanya, Jumat (6/6).
Claire mengaku sejak remaja sudah bercita-cita ingin menjadi dokter karena tertarik mempelajari sistem tubuh manusia karena terinspirasi dari pelayanan Rumah Sakit Apung yang didirikan oleh dr. Lie Dharmawan dari Yayasan Dokter Peduli (DoctorSHARE). Rumah sakit ini beroperasi di atas kapal atau tongkang, bertujuan untuk memberikan akses layanan kesehatan ke daerah-daerah terpencil, wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Claire kemudian menyadari bahwa menjadi dokter berarti harus mampu memberikan pelayanan kesehatan dalam kondisi apapun. “Saya lalu memilih prodi kedokteran UGM karena dikenal sebagai prodi yang tidak hanya mengajarkan gold standard, tetapi juga bagaimana seorang dokter dapat beradaptasi dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang tersedia, baik itu di kota besar ataupun kecil,” ungkap Claire.
Menurutnya, para profesor dan dosen di prodi kedokteran selalu membagikan ilmu berharga sekaligus mengajarkan untuk menjadi dokter yang rendah hati dan tulus melayani pasien.
Selain Claire, Zabrina juga bangga menjadi peraih IPK tertinggi berkat kerja keras dan ketekunannya selama kuliah. Pada tahun pertama dan kedua, ia aktif sebagai anggota organisasi Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA), sebuah organisasi mahasiswa kedokteran nasional yang aktif di 27 universitas termasuk UGM. Selain itu, Zabrina juga menjadi asisten dosen anatomi dan mengikuti beberapa perlombaan kedokteran. Berlanjut pada semester 7, Zabrina mengambil beberapa short course tentang herbal medicine, kedokteran olahraga, doctorpreneurship, penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta topik seribu hari pertama kehidupan. Dari sana lah ia memiliki ketertarikan terhadap obat-obatan herbal yang ia ambil sebagai topik skripsi. “Topik skripsi saya adalah pengembangan obat herbal untuk membantu mengatasi hipertensi. Salah satu penyakit degeneratif dengan prevalensi cukup tinggi dan komplikasi yang berat,” tutur Zabrina.
Beberapa orang mungkin khawatir akan konsumsi obat konvensional setiap hari dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Zabrina meneliti kandungan Allium sativum, Curcuma aeruginosa, dan Amomum compactum dalam poliherbal antihipertensi terhadap frekuensi denyut nadi tikus model hipertensi. “Penelitian ini mendukung kandungan tersebut untuk dikembangkan menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT),” katanya.
Zabrina mengaku sempat menghadapi berbagai tantangan yang membuatnya down selama mengerjakan skripsi. Kegiatan akademik dan non-akademik yang ia ikuti cukup menguras tenaganya di tengah kewajiban mengerjakan skripsi. “Saya pernah gagal melanjutkan judul skripsi pertama saya karena terhalang pendanaan penelitian. Judul skripsi yang akhirnya saya selesaikan pun tak berjalan lurus. Tangis yang mewarnai pengerjaan skripsi sudah hal yang biasa,” kenangnya.
Tak hanya Zabrina, peraih IPK tertinggi lainnya, Inzan Ilmi Kazamzam awalnya mengaku tidak percaya akan mendapat predikat sebagai lulusan dengan IPK tertinggi tersebut. Selama kuliah, ia aktif mengikuti kegiatan MBKM, organisasi CIMSA, serta BEM FK-KMK UGM. Membagi waktu antara jadwal kuliah dengan kegiatan non-akademik baginya adalah tantangan tersendiri. “Jam kuliah prodi dokter yang cukup padat. Tidak hanya kegiatan di kampus saja, tetapi masih perlu banyak persiapan seperti untuk kegiatan praktikum dan skills lab yang juga memakan waktu,” kata Ilmi.
Guna mengatasi hal tersebut, ia melakukan pencatatan secara rapi terhadap agenda atau aktivitas harian agar tidak ada yang bertabrakan. Dalam hal belajar, ia juga menerapkan sistem learning objectives untuk menghindari overwhelming dan membagi waktu antar materi. Di luar itu, ia merasa penting untuk memiliki teman belajar yang bisa mendukung satu sama lain. FK-KMK UGM baginya bukan hanya sebagai tempat belajar, tapi juga tempat bertemu dengan teman sejawat dan sahabat agar tetap menikmati perjalanan perkuliahan. “Selama 3,5 tahun ini, saya banyak merasakan momen naik dan turun. Singkatnya, sudah seperti roller coaster,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Claire dan Ilmi