Yubita Hida Aprilia tidak pernah melupakan peristiwa di hari Jumat, 15 September 2017. Peristiwa saat dirinya harus menjalani operasi amputasi kaki sebelah kanan di RS Orthopedi Solo.
Tidak ada pilihan lain untuknya. Ia harus menjalani operasi dan kehilangan sebagian kaki kanannya akibat tumor tulang yang terdeteksi telah menyebar dari telapak kaki hingga betis.
“Sedih memang tapi bagaimana lagi. Orang tua dan dokter sepakat ini harus dilakukan agar tidak semakin menjalar,” kenang Yubita sambil terisak menangis.
Itulah awal percakapan dengan Yubita Hida Aprilia saat ditemui di rumahnya di Desa Termas, Kecamatan Karangrayung, Grobogan Purwodadi Jawa Tengah belum lama ini. Yubita adalah mahasiswa baru UGM yang diterima di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya melalui jalur SNBT dengan skema pembayaran UKT 0 alias gratis.
Diterima kuliah di UGM menjadi hiburan tersendiri bagi Yubita setelah sekian peristiwa tidak mengenakan harus ia lewati. Cukup lama ia menderita tumor tulang semenjak menjelang kelulusan dari SD Negeri 2 Termas hingga kelas VIII di SMP Negeri 1 Karangrayung. Selama itu pula ia harus beraktivitas dengan kruk (penyangga kaki).
Banyak perubahan dilakukan Yubita pasca kehilangan satu kaki. Ia pun terpaksa membatasi banyak kegiatan semacam kepramukaan dan olahraga. Bahkan, meski duduk di kelas IPA saat menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Karangrayung, ia kemudian harus merubah orientasi keinginan.
Semula dirinya memiliki keinginan menjadi dokter, namun takut bayangan tidak bisa mengikuti perkuliahan karena banyaknya praktik lapangan sehingga membuatnya mengurungkan niat itu. Terlebih ia harus kehilangan sang ayah, Tarli, karena sakit paru-paru saat baru lulus dari SMA Negeri 1 Karangrayung.
“Ayah meninggal hampir bersamaan saat kelulusan SMA. Makanya saat lulus dari SMA Negeri 1 Karangrayung sempat gap year,” aku Yubita.
Memang bukan akhir dari segalanya, tapi Yubita sadar hari-hari yang akan dijalani akan semakin berat. Apalagi jika melihat ibunya, Juwariyah, harus sendirian menanggung hidup keluarga.
Meski sang kakak, Yuli Nur Hidayah, sudah berkeluarga tetapi belum bisa membantu banyak karena belum terlalu mapan. Sementara adiknya, Setyo Budi Utomo, masih duduk di kelas 3 SD Negeri Termas.
Setahun menunggu kesempatan seleksi masuk perguruan tinggi Yubita mengisi hari-harinya dengan membaca dan latihan soal-soal tes. Dengan pendapatan ibunya sebagai buruh paruh waktu di pemotongan ayam di pasar Godong Grobogan, ia pun tak tega menyampaikan keinginannya untuk mengikuti bimbingan belajar.
“Tidak mungkin, lokasi bimbelnya juga jauh dari rumah,” ucapnya.
Yubita memang tampak lebih dewasa dari usianya. Tidak mudah baginya berdamai dengan situasi pasca operasi, tetapi ia tetap menjalani semua dengan tenang dan tawakal. Pasca operasi menjadikannya semakin paham dengan kondisi tubuhnya meski tidak semakin leluasa.
Nilai-nilai Yubita di kelas XII IPA SMA Negeri 1 Karangrayung sesungguhnya tidak terlalu jelek dengan rata-rata nilai Ujian Sekolah mencapai 85,46. Namun, untuk mengejar ketertinggalan, ia selalu konsisten dengan pola belajar yang rutin dan dilakoninya setiap hari jam 3 dini hari hingga Subuh.
“Beraninya paling bilang minta dibelikan buku-buku latihan soal dan paket try out. Kalau ada kesulitan-kesulitan sesekali buka youtube. Kenapa Sastra, ya berharap saja kuliah lapangannya tidak terlalu banyak,” ujar pengagum sastrawan Pramoedya Ananta Tour, Khalil Gibran dan Rendra.
Yubita merasa bersyukur meski tidak memiliki badan sempurna, saat sekolah ia mendapat perlakuan baik dari teman-temannya. Bahkan, saat duduk di SMA Negeri 1 Karangrayung salah satunya teman yang kebetulan masih saudara rela menjemput saat berangkat dan pulang sekolah.
Dara kelahiran Grobogan 23 April 2004 itu kini tengah menjalani Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) di kampus UGM. Ia sangat senang bisa kuliah di UGM, perguruan tinggi yang ia impikan semenjak duduk di bangku SMP Negeri 1 Karangrayung.
Juwariyah mengaku senang sekaligus sedih melihat Yubita diterima kuliah di UGM. Mengaku senang karena apa yang diinginkan anaknya terkabul, rasa sedihnya, almarhum Tarli, suaminya tidak melihat kebahagiaan Yubita masuk kuliah di UGM.
Juwariyah mengaku mustahil awalnya untuk terus mendorong Yubita bisa kuliah. Penghasilannya sebagai tenaga paruh waktu di pemotongan ayam dan buruh tani tidak akan mencukupi.
“Pripun rata-rata naming sekitar 1,5 juta. Nggih bersyukur saja, sedihnya bapaknya tidak bisa nyawang Yubita kuliah menjadi mahasiswa baru UGM,” ungkapnya berkaca-kaca.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Zarodin