
Tata kelola pemerintahan yang baik harus didukung dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan melayani. Dengan begitu, Birokrasi, dapat berjalan dengan transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik. Namun kenyataannya sistem birokrasi seringkali diperumit oleh praktik nepotisme dan juga kolusi yang pada akhirnya menghambat profesionalisme serta menciptakan ketidakadilan.
Guru Besar Manajemen Kebijakan Publik Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto mengatakan dampak utama dari praktik nepotisme dan kolusi, diantaranya menurunnya kualitas pelayanan publik, peningkatan risiko korupsi dan beban ekonomi. “Birokrasi yang semakin berat dan rumit akan menurunnya kepercayaan publik,” kata Erwan dalam Diskusi Kuliah Bestari yang mengupas Nepotisme dan Kolusi Akar Kerumitan Birokrasi, Sabtu (22/3) lalu melalui kanal youtube UGM.
Erwan menyampaikan beberapa fakta dan kasus nyata di Indonesia bahwa terdapat 171 daerah terindikasi dinasti politik dari Kemendagri 2023, adanya korupsi pengadaan barang dan jasa merugikan triliunan rupiah dari ICW 2023, dan adanya jual beli jabatan di instansi pemerintah masih terjadi dari KPK 2023.
Menurutnya langkah reformasi birokrasi dan upaya pencegahan dengan sistem merit dalam rekrutmen ASN, digitalisasi pengadaan barang dan jasa, transparansi LHKPN, regulasi konflik kepentingan (PermenPANRB 17/2024), kewajiban transparansi kepemilikan benefisial, penerapan SAKIP untuk transparansi anggaran, dan adanya penguatan pengendalian internal dan manajemen risiko.
Salah satu upaya membangun birokrasi yang bersih dan berintegritas, seperti fokus utama dalam roadmap kebijakanreformasi birokrasi, yakni pertama dengan penguatan sistem integritas dan pengawasan. Kedua pembangunan sistem pengelolaan konflik kepentingan. Selanjutnya, yang ketiga penguatan tata kelola pengadaan barang dan jasa. Keempat, penanaman core values ASN. Terakhir, adanya komitmen terhadap implementasi kebijakan dan/ atau putusan peradilan.
Sementara Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Dr. Dyah Mutiarin, M.Si. menyampaikan mengenai persoalan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sampai tahun 2024 meningkat tajam dimana jumlah kasus korupsi dan tersangka di Indonesia meningkat tajam sejak tahun 2019 sampai dengan 2023, dengan 791 kasus dan juga 1.695 tersangka pada 2023. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga mengalami penurunan dari 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2023, menandakan persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi semakin memburuk.
Ia juga menunjukkan bahwa adanya modus korupsi dari data Laporan ICW tahun 2024, bahwa menunjukkan bahwa modus korupsi yang paling dominan di Indonesia pada tahun 2023 merupakan kegiatan/ proyek fiktif sebanyak 288 kasus dan penyalahgunaan anggaran sebanyak 259 kasus, khususnya dalam sektor pengadaan barang dan jasa. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran, yang membuka peluang besar bagi tindakan korupsi. “Terdapat kasus jual beli jabatan menjadi celah korupsi tertinggi. Sebanyak 371 ASN telah ditetapkan menjadi tersangka korupsi jual beli jabatan terkait dengan pemberian gratifikasi dan suap yang ditujukan untuk mempengaruhi promosi, mutasi, hingga penerimaan pegawai berbagai Lembaga pemerintah,” paparnya p.
Menurut Dyah, praktik nepotisme akan berdmpak pada penurunan kinerja birokrasi karena dari sisi rekrutmen saja sudah tidak merit sistem yang digunakan dan akan menyebabkan konflik dan lost of trust. Sementara praktik kolusi menyebabkan lemahnya integritas, dan public services. Oleh karena itu, sistem pengawasan internal itu juga ditumbuhkan melalui akuntabilitas laporan keuangan dan kinerja harus selalu didorong untuk mencegah kolusi dan nepotisme. “Apalagi SDM yang direkrut itu bukan berbasis merit sistem, ini akan menimbulkan masalah dan oleh karena itu transparansi itu perlu untuk mencegah nepotisme dan pengawasan secara terus menerus,” katanya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson