Fenomena terjadinya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi telah menjadi perhatian bersama para sivitas akademika di tingkat global dan di Indonesia. Sejak tahun 2016, UGM telah menyusun kebijakan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual. Komitmen ini dipertegas melalui peluncuran program Health Promoting University (HPU) pada tahun 2019 dengan dibentuknya tim Kelompok Kerja (Pokja) Zero Tolerance Kekerasan, Perundungan, dan Pelecehan. Dengan terbitnya Permendikbudristek No.30 Tahun 2021, UGM menyesuaikan kebijakan internal dengan aturan tersebut, antara lain dengan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) pada 3 September 2022.
Saat ini, telah terbentuk 1.675 Satgas PPKS yang tersebar di 125 perguruan tinggi negeri, dan baru 57 persen dari 4.000 perguruan tinggi swasta memiliki Satgas PPKS. Meski demikian, sosialisasi bagi seluruh sivitas kampus terkait kategori dan klasifikasi KS penting untuk dilakukan mengingat masih banyaknya kendala dan permasalahan yang ditemukan oleh Satgas selama bertugas. Berangkat dari keprihatinan tersebut, UGM menjadi tuan rumah Konferensi Nasional bertajuk Sexual Violence in Universities: Investigation Root Cause Problems, Prevention, and Responses yang digelar selama dua hari pada Rabu dan Kamis (24-25/7) di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM.
Konferensi Nasional ini terwujud atas kolaborasi beberapa Satgas PPKS Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), yaitu UGM, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga, Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI), Yayasan BaKTI, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Terbagi menjadi sesi seminar dan panel, konferensi ini membahas 100 makalah dari 154 peserta, dengan peserta non panel sejumlah 58 orang.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Drs. Amich Alhumami, M.A, M.Ed., Ph.D. dalam sambutannya mengungkapkan bahwa pembangunan manusia menjadi isu sentral dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan. “Produktivitas yang menjadi penghubung antara korban KS dan pembangunan, karena jika seseorang mendapatkan KS, ia akan mengalami trauma psikologis dan fisik yang berkepanjangan. Dampaknya ia akan kehilangan waktu untuk tumbuh menjadi manusia sempurna dan produktif. Apalagi jika KS ini terjadi di perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat untuk menimba ilmu,” ungkap Amich.
Amich mengapresiasi pelaksanaan konferensi nasional ini sebagai komitmen dari universitas untuk pencegahan dan memberikan perlindungan bagi korban. “Jika dukungan dari pimpinan perguruan tinggi tersedia, Satgas memiliki energi untuk bekerja jadi mereka semakin progresif dalam menjalankan peran dan fungsinya,” tutupnya.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Dr. Chatarina Muliana, S.H., S.E., M.H. menyampaikan penguatan satgas PPKS di setiap perguruan tinggi akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan KS di Lingkungan Perguruan Tinggi. “Satgas akan menjadi unit tetap yang masuk dalam struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) perguruan tinggi, sehingga bisa menyusun program kerja dan penganggaran secara maksimal,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, nantinya Satgas akan menangani dua tipe kekerasan lain, yaitu perundungan dan intoleransi, yang mana menjadi kekerasan selain KS, sebagai tiga dosa besar di lingkungan pendidikan. “Oleh karena itu kami sangat mengharapkan para pimpinan perguruan tinggi di mana pun dapat mengupayakan pemenuhan kebutuhan Satgas karena kemampuan Satgas dalam menjalankan tugasnya sangat bergantung pada komitmen dan kebijakan perguruan tinggi. Kami siap memfasilitasi peningkatan kompetensi dan kapasitas semua tim Satgas untuk menciptakan kampus yang sehat, aman, dan nyaman, tanpa adanya kasus-kasus KS,” ujar Chatarina.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG (K)., Ph.D, dalam pidatonya mengungkapkan berdasarkan kajian literatur, universitas adalah tempat kedua tertinggi terjadinya ketimpangan relasi kuasa setelah institusi militer. “Kampus sebagai institusi pendidikan perlu untuk mengembangkan sistem, guna mencegah tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, baik pelecehan non fisik, pelecehan fisik, dan KS berbasis online” tutur Ova.
Ova menambahkan, tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menyangkut pelanggaran perilaku profesional. Pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk KS, memerlukan upaya komprehensif lintas sektoral. Forum diskusi ilmiah sebagai media tukar gagasan dan pengalaman (lesson learnt) mengenai best practice, menjadi bagian dari proses bersama dalam membuka perspektif baru untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di masa depan.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto