Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan pangan menjadi tantangan tersendiri. Sektor pertanian nasional dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri di tengah ancaman perubahan iklim. Persoalan ini pun menjadi juga menjadi target dalam mempersiapkan Indonesia Emas 2024. Karena itu, perlu adanya inovasi strategis lintas sektor untuk mempertahankan produksi pangan Indonesia.
Menurut Staf Ahli Bidang Konektivitas Bidang Perkembangan Jasa dan SDA, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, S.T., M.Sc, setidaknya tiga hal yang perlu diperhatikan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023. “Tiga hal penting ini adalah recovery dan rebuilding, digital economy, dan sustainability. Ekonomi kita selama ini bertahan di pertumbuhan 5% dan itu luar biasa. Saya juga sampaikan, kita sedang bersiap menjadi anggota OECD sebagai bagian dari negara maju. Jadi kalau biasanya kita lebih banyak menerima, sekarang kita harus bisa lebih banyak memberi,” ungkap Dida.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melihat strategi apa yang cocok untuk permasalahan pertanian adalah dengan melakukan riset. Indonesia dikatakan sebagai negara dengan asas kekeluargaan yang kuat, dan dituangkan dalam sistem ekonomi berbentuk koperasi. Sayangnya, pengembangan koperasi ini masih sangat minim. “Anomali di Indonesia ini terletak pada koperasi. Kita terkenal dengan bangsa yang ramah tamah, gotong royong, tapi koperasi tidak pernah menjadi besar. Negara Denmark, yang produknya sekarang membanjiri dunia itu awalnya dari koperasi. Begitu juga dari Korea Selatan. Kalau dilihat dari kekuatan kita, sebenarnya sudah cukup untuk membuat koperasi menjadi konglomerat. Harapannya, sektor pertanian menjadi yang pertama untuk itu,” ucap Dida.
Masalah pertanian diakui juga oleh Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Jamhari, S.P., M.P., sebagai persoalan yang jauh lebih rumit. Permintaan dalam sektor pertanian semakin meningkat karena hasil pertanian tidak hanya dimanfaatkan sebagai makanan, namun juga pakan, bahan bakar, dan pemanfaatan serat. Namun di samping itu, produksinya semakin menurun akibat perubahan iklim. Hal inilah yang menyebabkan pelibatan teknologi menjadi penting.
“Kalau kita lihat, kesejahteraan posisi petani ini juga terhimpit. Dalam rantai pasokan hasil tani, sistem distribusinya, yang paling besar itu ada di penggilingan. Jadi petani memang sejak awal tidak memiliki pendapatan yang besar. Nah, selain itu juga petani itu dihadapkan pada pasar oligopoli. Jadi petani-petani yang kecil ini dihadapkan pada pasar input yang lebih besar, tapi di sisi lain output nya ini kecil,” terang Jamhari. Tak hanya itu, sektor pertanian masih banyak yang dikelola oleh pertanian skala mikro. Meskipun telah banyak kelompok dan komunitas petani, namun pengelolaan tetap berada di masing-masing petani
Jika sebelumnya jumlah petani pemilik lahan kecil mendominasi, saat ini kondisinya jauh lebih parah. Data sensus pertanian mengungkapkan, sebanyak 48% lahan tani dikelola oleh petani penyakap, atau dengan sistem sewa. Sehingga, lahan-lahan tani yang tersedia saat ini bukanlah milik petani itu sendiri, dan tidak ada keterangan apakah sistem pembagiannya merata. “Saat ini sudah tidak petani pemilik penggarap kecil, tapi justru petani penyakap dan kecil. Karena kita tidak punya aturan yang melarang orang itu menyakapkan tanah. Ini kan berbeda dengan negara-negara yang melakukan land reform. Kalau kondisi di kita itu petani penyakap kecil, ini justru lebih menyulitkan,” tambah Jamhari.
Untuk mengakomodasi seluruh persoalan tersebut, perlu adanya kerja sama antar sektor dan pihak, baik dari segi kebijakan atau dari masyarakat itu sendiri. Teknologi pertanian perlu ditingkatkan penetrasinya untuk membantu petani bertahan dalam gempuran perubahan iklim. Dengan begitu, upaya ketahanan pangan juga dapat diwujudkan dan dipertahankan keberlanjutannya.
Penulis: Tasya