Konflik Palestina-Israel kembali muncul dalam beberapa hari terakhir. Hal ini dipicu oleh serangan Hamas Palestina terhadap Israel di wilayah selatan jalur Gaza pada Sabtu (7/10). Serangan diperkirakan terjadi untuk membalas berbagai tekanan dan serangan yang dilakukan Israel terhadap Palestina selama bertahun-tahun. Hingga saat ini, korban konflik Palestina-Israel dikabarkan telah mencapai 2.300 korban jiwa dan 8.900 korban luka-luka di kedua belah pihak.
Pakar hubungan internasional UGM, Dr. Siti Mutiah Setiawati, M.A., mengungkapkan alasan mengapa Gaza kerap menjadi daerah rawan konflik Palestina-Israel. “Kalau di Gaza, itu yang saya amati seperti periodik. Jadi, sejak 2008, Gaza itu jadi target Israel untuk diserang karena Hamas ada di sana, di mana Hamas ini merupakan gerakan yang mencita-citakan kemerdekaan Palestina. Gaza itu adalah wilayah yang dulu milik Mesir, kemudian diambil oleh Israel setelah perang 1967. Tapi kemudian perundingan Oslo 1993 wilayah Gaza merupakan wilayah otoritas, jadi bukan wilayahnya Palestina. Masih jadi wilayah Israel di dalam de facto nya sejak 1967,” ucap Siti dalam DIHI Talks, UGM pada Jumat (13/10).
Wilayah Gaza merupakan wilayah dengan jumlah penduduk sekitar 1,1 juta jiwa, dan merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia. Penduduk Palestina yang tinggal di jalur Gaza diketahui sering mendapat tekanan dari Israel, seperti blokade bantuan internasional, pemutusan akses listrik dan air, dan tempat tinggal yang kumuh. Siti menambahkan, posisi Hamas di pihak Palestina semakin tertekan akibat adanya perjanjian damai antara Israel dengan Mesir, di mana membuka potensi perdamaian Israel dengan negara-negara Arab lainnya.
“Jadi, kalau kita lihat konflik ini itu bentuk dari terdesaknya pihak Hamas. Karena dia sebagai negara yang terjajah, kalau tidak melawan itu justru aneh. Apalagi dengan adanya dukungan negara lain terhadap Israel, akan membuat Hamas semakin sulit. Ini yang kita coba cari penyelesaiannya itu seperti apa. Hampir mirip dengan Indonesia sebenarnya, juga melibatkan PBB. Tapi kala itu Indonesia tidak hanya menggunakan kekerasan saja, tapi juga negosiasi,” tambah Siti. Upaya-upaya perdamaian telah banyak dilakukan dalam konflik Palestina-Israel ini. Sayangnya, alih-alih membuahkan hasil, upaya tersebut justru gagal akibat pelanggaran yang dilakukan kedua belah pihak.
Indonesia sendiri secara konsisten mendukung Palestina untuk menjadi negara merdeka. Hal ini sesuai dengan landasan konstitusi yang percaya bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan dari dunia. Momentum ini menjadi kesempatan bagi dunia internasional untuk memberikan perhatian lebih terhadap konflik Palestina-Israel. Prof. Dr. Mochtar Masoed menjelaskan, beberapa tahun terakhir Amerika Serikat nampak absen dalam konflik timur tengah. Namun, sejak disahkannya Deklarasi Abraham Accords, yakni perjanjian kerja sama antara Israel dan Uni Emirat Arab yang diprakarsai oleh AS.
“Nah, Abraham Accords itu merupakan indikasi terjadinya rekonfigurasi atau penataan kembali geopolitik Timur Tengah akibat reorientasi strategis Amerika. Poin yang ingin saya tegaskan untuk menggambarkan bagaimana keadaan di Timur Tengah. Perlu diingat juga pengaruh Iran juga berperan dalam konflik ini. Abraham Accords dipandang sebagai gerakan diplomatik yang mempersatukan kekuatan melawan pengaruh Iran yang menyebabkan berakhirnya isolasi terhadap Israel. Sehingga, semangat memperjuangkan Palestina ini menurun,” tutur Mochtar.
Timbulnya konflik berulang Palestina-Israel ini memiliki banyak faktor yang terjadi antara kedua pihak. Serangan Hamas pada Israel tentunya bukanlah awal mula dari perang, namun merupakan rantai dari ketegangan politik yang telah dimulai sejak bertahun-tahun lalu. Perdamaian antara keduanya dapat dilakukan jika dunia internasional turut memberikan perhatian tanpa melibatkan kepentingan lainnya. Melalui langkah tersebut, konflik Palestina-Israel diharapkan dapat menemui titik terang dan tidak lagi mengorbankan berjuta-juta nyawa warga sipil.
Penulis: Tasya
Foto: Tirto.id