
Dugaan maraknya penahanan ijazah baik di perusahaan swasta maupun perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai kecaman dari publik maupun para karyawan yang diterima menjadi pekerja. Kasus penahanan ijazah ini disinyalir akibat minimnya pengawasan oleh pemerintah dan ketakutan korban untuk melapor karena merasa sudah diterima untuk bekerja. “Kasus penahanan ijazah oleh perusahaan sudah sering terjadi. Namun karena kurangnya pengawasan pemerintah dan ketakutan korban untuk melapor, sehingga pelanggaran ini masih terjadi,” ujar Pakar Hukum Ketenagakerjaan UGM Dr. Murti Pramuwardhani Dewi, Rabu (4/6).
Dosen Fakultas Hukum UGM ini menilai praktik penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, penahanan ijazah jelas dilarang karena melawan hak seseorang atas identitas pribadi. Meskipun hal ini tidak tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun melalui Surat Edaran Menaker RI Nomor M/5/HK.04.00/V/2005 tercantum bahwa pemberi kerja dilarang melakukan penahanan ijazah dan dokumen pribadi pekerja.
Menurutnya, ada potensi konflik relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja, sehingga minim muncul laporan jika terjadi penahanan dokumen pribadi. Padahal apabila dokumen hilang atau rusak akibat disimpan oleh perusahaan, maka pemilik dokumen berhak mengajukan tuntutan atas kerusakan dokumen pribadi. “Fenomena penahanan ijazah bisa berawal dari perbedaan kepentingan antara pekerja dan perusahaan. Pekerja umumnya ingin mendapatkan jaminan dan peningkatan kesejahteraan, sedangkan perusahaan juga ingin mendapat jaminan produktivitas dan keuntungan dari pekerja,” katanya.
Murti menegaskan diperlukan adanya perjanjian kerja tertulis sebelum memulai hubungan kerja yang mencakup kesepakatan bersama tanpa melanggar undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan sesuai dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Dengan demikian apabila salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat itu ada konsekuensinya yang sudah disepakati bersama di awal. “Perlu kepastian hukum bagi para pihak,” tutur Murti.
Aturan ini dalam hukum dikenal sebagai Asas Pacta Sunt Servanda atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Kendati demikian, Murti berpendapat maraknya penahanan ijazah yang terjadi di banyak perusahaan dipicu karena persaingan ketat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Tingginya jumlah tenaga kerja tidak seimbang dengan minimnya ketersediaan lapangan kerja, sehingga posisi tawar pekerja lebih rendah dibanding pemberi kerja. Kondisi ini menyebabkan pekerja tidak memiliki pilihan lain selain menerima aturan perusahaan yang sebenarnya melanggar hukum. “Pemerintah perlu melakukan tindakan tegas untuk memperketat regulasi dan pengawasan terhadap kasus penahanan dokumen pribadi,” katanya.
Sejalan dengan itu, Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Fisipol UGM, Prof. Dr. Susetiawan, S.U., mengatakan ijazah adalah salah satu tanda kesejahteraan subjektif bagi pemiliknya. Jika hilang atau rusak akibat bencana atau kelalaian perusahaan, maka pemilik ijazah tidak bisa mengajukan pengeluaran ijazah kembali. Oleh karena itu perlu ada pengawasan dan perlindungan hukum bagi pekerja agar perusahaan tidak semena-mena menahan ijazah secara paksa. “Kalau perusahaan menghendaki ijazah karyawan, cukup dengan salinan yang sudah dilegalisir atau menunjukkan aslinya. Sesudah itu dikembalikan kepada pemiliknya saat itu juga,” tuturnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik