Sesuai dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), Indonesia memiliki misi untuk menurunkan emisi karbon sebesar 41% pada 2023. Karena itu, penggunaan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil terus diupayakan. Kali ini, Pusat Studi Energi UGM dan Dewan Mahasiswa Energi (DEM) UGM menggelar Youth Energy Congress National Energy Festival bertajuk “Balancing The Equation: Nucleur Energy’s Role in Sustainable Future” pada Sabtu (2/3).
“National Energy Festival (NEF) telah memasuki tahun ketiga yang telah diselenggarakan oleh Dewan Energi Mahasiswa (DEM). Kami berharap ini menjadi salah satu wadah, kita sebagai anak muda, kita sebagai mahasiswa agar lebih sadar terhadap energi yang lebih berkeadilan di Indonesia. Saya juga berharap, ini bisa memberikan insight baru dan pengalaman baru terkait pengembangan energi terbarukan,” ujar Muhammad Rizki Ramadan selaku Ketua DEM UGM. Kongres ini turut diikuti oleh organisasi energi mahasiswa dari berbagai daerah, seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Utara.
Energi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak terpisahkan. Laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, tingkat konsumsi listrik penduduk mengalami kenaikan 4% sepanjang tahun 2021-2022. Adapun hingga akhir tahun 2023, penggunaan listrik kembali naik hingga mencapai 1.336 kWh/kapita. Angka ini juga menunjukkan ketergantungan tinggi masyarakat kita pada energi listrik. Sayangnya, sumber energi listrik yang saat ini masih digunakan hanya berfokus pada sumber daya fosil yang semakin menipis. Itulah mengapa energi alternatif perlu dikembangkan agar ketersediaan energi dapat terjamin.
“Kita melihat di Eropa saat ini mereka sedang krisis energi karena perang dengan Rusia. Selama ini mereka bergantung pada satu energi yang di-supply dari luar. Maka ketika supply tersebut menurun, harga listrik mereka saat ini melonjak naik. Ternyata ketergantungan sebuah negara terhadap satu jenis energi, di mana ketika ada hal-hal yang sifatnya politis, itu bisa menjadi alat bagi negara lain untuk mengendalikan sumber energi. Itu akibatnya sangat fatal,” terang Prof. Ir. Sarjiya, S.T, M.T., Ph.D., IPU., Kepala Pusat Studi Energi UGM. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, Eropa sebagai negara empat musim memiliki urgensi energi yang tinggi yang berkaitan erat dengan pertahanan dan keamanan penduduk.
Berdasarkan pemaparan Dr. Musa Partahi Marbun, S.T., M.T., perwakilan Perusahaan Listrik Negara (PLN), saat ini Indonesia menghadapi tiga permasalahan utama yang saling bersinggungan. Negara perlu menjamin ketersediaan dan aksesibilitas energi listrik, harga yang terjangkau, dan emisi karbon rendah. Ketiga hal tersebut sulit dipenuhi karena sumber energi yang saat ini digunakan hanya memenuhi 1-2 kriteria. PLTU Batu Bara contohnya, adalah energi primer yang aman dan terkendali, namun tidak memenuhi kriteria emisi. Kemudian energi solar, harga terjangkau dan rendah emisi, tetapi pasokannya tidak terjamin.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disebut memiliki potensi menjanjikan karena merupakan energi paling rendah emisi, yakni hanya sekitar 3 ton CO2 per GWh. Meskipun potensial, pengembangan energi nuklir tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. “Tidak semudah itu, ya bagi kami. Kalau kita ingin mendirikan PLTN itu sudah ada aturan dan standar yang ketat. Salah satu yang berbeda dengan energi lain, itu adalah aspek penerimaan masyarakat. Bagaimana kita mengubah pandangan masyarakat terhadap nuklir. Tentunya ada aspek safety sebagai yang utama,” papar Musa.
Emisi karbon sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim perlu mendapatkan penanganan yang tepat. Mengubah ketergantungan masyarakat dan menjamin ketersediaannya secara bersamaan menjadi tantangan yang berat bagi negara-negara di dunia. Untuk itu, UGM selalu mendukung upaya untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mendukung inovasi low emission dan green energy yang sekaligus menjadi implementasi SDGs ke-13 (Perubahan Iklim), dan 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).
Penulis: Tasya