
Konsep rasa rumangsa berupa memahami diri lebih mendalam secara batin bisa menjadikan individu berperilaku untuk menempatkan diri, menjaga hubungan baik, harmonis, damai, dan sejahtera secara sosial. Proses rasa rumangsa dibentuk oleh proses internal yang dimulai dengan mengenali diri sendiri secara fisik dan kemudian memahami diri sendiri secara lebih mendalam. Rasa rumangsa berupa ‘bisa rumangsa’ menjadikan individu tidak sombong, pamrih, dan iri hati. “Justru sebaliknya individu lebih andap ashor atau rendah hati, peduli, sabar, penuh kasih sayang, dan lemah lembut dalam berperilaku. Rasa rumangsa ini tercermin dalam tiga aspek yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku, “ ujar Sheilla Varadhila Peristianto mahasiswa jenjang doktor Fakultas Psikologi UGM dalam ujian terbuka promosi doktor, Selasa (19/8). Bertindak sebagai Promotor Prof. Drs. Subandi., M.A., Ph.D., Psikolog, dan Ko-promotor Dra. Muhana Sofiati Utami, M.S., Ph.D., Psikolog.
Mempertahankan desertasi Konsep Rasa Rumangsa dan Kaitannya Dengan Beban Subjektif Keluarga Yang Merawat Individu Dengan Skizofrenia, Sheilla menuturkan konsep rasa rumangsa termanifestasi menjadi beberapa indikator yang dibuat dalam alat ukur rasa rumangsa berjumlah 30 item. Alat ukur rasa rumangsa ini telah valid dan reliabel mengukur aspek ketiga aspeknya. Alat ukur rasa rumangsa juga memiliki korelasi positif dan kuat dengan alat ukur self-awareness dan empati. Adanya perumusan konsep dan alat ukur, maka rasa rumangsa dapat dijadikan variabel psikologis yang sesuai dengan konteks Indonesia, khususnya dalam konteks budaya Jawa. “Masih dalam kajian pengembangan pengukuran rasa rumangsa, dalam desertasi ini alat ukur diuji dalam sebuah konteks keluarga yang merawat skizofrenia dengan dikaitkan variabel lainnya yaitu dukungan sosial dan beban subjektif. Bagaimana rasa rumangsa berperan terhadap beban subjektif keluarga yang merawat individu dengan skizofrenia, melalui dukungan sosial,” terangnya.
Keluarga yang memahami diri secara mendalam, kata Sheilla melibatkan emosi dan perilaku positif menjadi bagian dari rasa rumangsa sebagai sebuah strategi coping. Strategi coping inilah yang menjadikan keluarga selalu memahami, menginstropeksi, dan turut merasakan yang dialami individu skizofrenia. Disebutnya, rasa rumangsa menjadi coping adaptif sehingga meningkatkan pencarian dan persepsi penyediaan dukungan sosial berupa bantuan informasi penanganan individu, penguatan positif, dan praktis lainnya. “Peningkatan dukungan sosial pada akhirnya dapat menurunkan beban subjektif keluarga yang merawat individu dengan skizofrenia,” tuturnya.
Diakhir dertasinya, Sheilla menyarankan untuk penelitian berikutnya perlu dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk menggali secara mendalam pengalaman keluarga yang merawat individu dengan skizofrenia dalam membangun rasa rumangsa. Pemahaman yang lebih komprehensif terhadap konsep rasa rumangsa akan membantu dalam mengembangkan intervensi berbasis rasa rumangsa yang lebih tepat untuk meningkatkan dukungan sosial dan mengurangi beban subjektif keluarga yang merawat individu dengan skizofrenia. “Bagi psikolog dan praktisi lainnya, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep rasa rumangsa pada keluarga yang merawat individu dengan skizofrenia. Dengan meningkatnya rasa rumangsa maka dukungan sosial dapat lebih optimal, yang pada akhirnya berkontribusi untuk menurunkan beban subjektif yang dialami keluarga,” tandas Sheilla yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Penulis : Agung Nugroho