
Di tengah laju deforestasi akibat dampak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar hingga alih fungsi lahan, konservasi menjadi salah satu strategi agar hutan tetap lestari untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam dan melindungi keanekaragaman hayati. Namun begitu, program konservasi hutan sebaiknya tidak hanya menggunakan perspektif teknologi dan inovasi modern namun juga perlu menggunakan pendekatan kearifan lokal terutama masyarakat adat yang masih memegang tradisi lama dalam menjaga keseimbangan alam.
Putu Ardana, Tokoh adat dari Desa Tamblingan, Bali, mengatakan upaya konservasi yang paling efektif justru berasal dari hasil yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat adat sejak lama. Menurutnya, masyarakat adat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari bentang alamnya. “Interaksi antara komunitas dan lingkungan diatur dalam sebuah sistem sosial sehingga membentuk Eco-socio-System,” jelas Putu Ardana dalam seminar “Merajut Pengetahuan Tradisional dan Modern untuk Konservasi Berkelanjutan dalam Pencapaian Target IBSAP 2025-2045” yang berlangsung di ruang Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (11/9)
Kaweng, demikian ia akrab disapa, memberikan contoh sebuah ritual adat sebenarnya juga bisa berfungsi sebagai sensus ekologi. Dalam sebuah ritual adat di Tamblingan, kata Putu, terdapat sarana yang perlu dipenuhi, salah satunya adanya tanaman hutan. “Jika tanaman tersebut tidak ditemukan, ritual tidak bisa dilaksanakan, sehingga kami harus menanamnya. Apa yang kini dikenal sebagai konservasi, sejak dahulu kala, kami sebut sebagai ritual,” kata mantan Aktivis Gelanggang UGM ini.
Seminar yang dilaksanakan dalam rangka merayakan Dies Natalis ke-62 Fakultas Kehutanan UGM ini juga menghadirkan pembicara lainnya, diantaranya Direktur Konservasi Kawasan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Sapto Aji Prabowo,Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup, Inge Retnowati, Cindy Juliaty selaku Program Manager Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret Dr. Nurhadi, dan Dosen Fakultas Kehutanan UGM Dwiko Budi Permadi, Ph.D.
Sapto menegaskan konservasi hutan saat ini memerlukan pendekatan kolaboratif dan integratif dengan dukungan dari pemangku kepentingan, terutama perguruan tinggi, dunia usaha, pemerintah daerah, LSM, media, mitra pembangunan, dan seluruh elemen masyarakat.
Sementara Dwiko Budi Permadi, memaparkan peran penting perguruan tinggi sebagai motor inovasi dan teknologi, membangun kemitraan advokasi, dan regenerasi. Menurutnya perguruan tinggi bisa berperan menjembatani pengetahuan yang dihasilkan secara bersama baik dari sisi scientific knowledge dan local knowledge. “Bukan hanya transfer ilmu dari ilmuwan ke masyarakat, melainkan pertukaran, penggabungan, dan penciptaan pengetahuan baru yang mengintegrasikan keduanya sehingga menghasilkan solusi yang relevan dan berkelanjutan.” jelasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto