Pemikiran para ekonom UGM pada pembangunan pertanian masih relevan hingga sekarang. Hasil pemikiran para ekonom sejak era tahun 1960-an ini, memiliki keterkaitan dengan pentingnya interaksi antara kebijakan, teknologi, risiko, dan insentif ekonomi dalam keberhasilan pembangunan pertanian di tanah air. Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Prof. Dr. Catur Sugiyanto, M.A., Kamis (26/9).
Catur menyebut terdapat kesinambungan kontribusi pemikiran dan penelitian dari para Ekonom UGM ini, bahkan lintas generasi, khususnya dikaitkan dengan Kebijakan Revolusi Hijau Sektor Pertanian sejak tahun 1960-an. Beberapa ekonom diantaranya Prof Mubyarto (alm), Prof Ace Partadiredja (alm), Prof. Dibyo Prabowo (alm). Dr. Soetatwo Hadiwigeno (alm), Prof Sukanto Reksohadiprodjo, M.Com (alm), Dr. Budiono Sri Handoko (alm). Prof. Gunawan Sumodiningrat, Prof Lincolin Arsyad, Prof. Catur Sugiyanto, dan Dr. Bagus Santoso.
Pada pemikiran Mubyarto, kata Catur, mengembangkan model surplus beras yang dapat dipasarkan yang menjelaskan bahwa surplus yang dijual petani adalah selisih antara produksi dan konsumsi rumah tangga, berkaitan dengan terhadap harga beras dan pendapatan petani. Elastisitas tersebut menunjukkan bahwa petani miskin cenderung mengurangi surplus yang dijual ketika harga beras dan penghasilan mereka meningkat, karena mereka lebih banyak mengkonsumsi beras untuk kebutuhan rumah tangga. “Sekecil apapun lahan yang dikerjakan petani, mereka bersifat rasional,” kata Catur.
Mubyarto pernah mengusulkan bahwa peningkatan produksi beras dapat dicapai dengan meningkatkan penghasilan petani. Dengan memberikan insentif yang tepat, seperti kredit murah melalui program seperti BIMAS, sehingga petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi padi. “Program BIMAS dan INMAS yang memberikan akses kredit kepada petani sejalan dengan pandangan Mubyarto mengenai kebutuhan petani akan peningkatan pendapatan,” katanya.
Sementara Dibyo Prabowo menekankan pentingnya infrastruktur irigasi yang memadai untuk meningkatkan produktivitas pertanian, terutama di Jawa. Pak Dib, demikian ia dulu akrab disapa, mengkritisi kebijakan pemerintah yang terus memberikan kredit pertanian pada daerah beririgasi penuh. Ia berpendapat bahwa kredit tersebut lebih baik dialihkan ke daerah dengan irigasi sebagian atau tanpa irigasi, di mana dukungan teknologi dan sumber daya air lebih dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas.
Sementara Ekonomi Budiono Sri Handoko menggunakan data dari survei pertanian tahunan selama 1976-1978 untuk menilai kontribusi teknologi baru, terutama benih unggul, terhadap produksi padi. Dari hasil analisisnya, ia menemukan bahwa teknologi baru dan penggunaan input seperti tenaga kerja memberikan kontribusi positif terhadap produksi padi. Namun, pupuk masih kurang dimanfaatkan secara maksimal. “Proses adopsi Revolusi Hijau lebih cepat dilakukan petani di Jawa-Bali dibandingkan Luar Jawa-Bali. Lebih luas lahan petani, lebih cepat mengadopsi,” kata Catur mengutip pendapat Handoko.
Gunawan Sumodiningrat mengkaji bagaimana risiko dan profitabilitas mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi varietas unggul (High Yielding Varieties). Adopsi teknologi baru dipengaruhi oleh kualitas irigasi, ketersediaan kredit, dan faktor risiko seperti kemungkinan banjir atau kekeringan. Adopsi teknologi seperti bibit unggul lebih tinggi di daerah yang memiliki kualitas irigasi dan ketersediaan kredit yang lebih baik, terutama di Jawa dan Bali, dibandingkan dengan luar Jawa, yang sering menghadapi risiko kekeringan dan kualitas lahan yang lebih rendah.
Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984, setelah itu mengalami penurunan produksi. Bagus Santoso mencatat bahwa produktivitas beras nasional justru menurun yang dikaitkan dengan perubahan perilaku petani yang mengurangi penggunaan bibit unggul ketika harga output meningkat. “Petani yang mengikuti program intensifikasi bertindak serupa dengan petani non-intensifikasi, yang mengindikasikan ancaman terhadap keberlanjutan swasembada beras,” ujar Catur.
Adapun Lincoln Arsyad mengkaji peran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali sebagai alat pembangunan ekonomi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ia menyoroti pentingnya peran lembaga informal seperti norma dan nilai sosial dalam operasional praktis LPD. Struktur informal ini bekerja bersama regulasi formal yang memberikan kerangka hukum dan tata kelola bagi LPD
Dari hasil pemikiran para ekonom FEB UGM ini, Catur menyimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat interaksi antara kebijakan, teknologi, risiko, dan insentif ekonomi dalam keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Meski revolusi Hijau membawa perubahan signifikan, namun keberhasilan jangka panjang bergantung pada pengelolaan risiko, akses kredit, infrastruktur, dan stabilitas harga yang memadai. Soal adanya kritik terhadap ketergantungan berlebihan pada beras dan fokus pada Jawa, mengindikasikan perlunya diversifikasi dan pendekatan yang lebih inklusif untuk memastikan ketahanan pangan di masa depan. “Diperlukannya diversifikasi dan pendekatan inklusif untuk meningkatkan ketahanan pangan,” ujarnya.
Dalam pandangan Catur, pasar beras di Indonesia telah terintegrasi dengan baik antara pasar domestik dan pasar internasional. Hal ini ditunjukkan oleh stabilnya margin impor beras dan keterkaitan harga beras domestik dengan harga beras dunia. Fluktuasi harga di dalam negeri secara signifikan dipengaruhi oleh tren harga beras di pasar internasional. Menurutnya, manajemen impor menjadi kunci untuk menjaga stabilitas harga di pasar domestik dan menjamin ketersediaan beras di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, Catur juga menyoroti pentingnya stabilisasi harga beras secara otomatis yang didasarkan pada mekanisme pasar, bukan melalui intervensi pemerintah yang tidak terencana. Hal itu disebabkan, stabilitas harga sangat penting untuk memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Ia juga menyarankan agar Indonesia lebih terlibat dalam pasar beras dunia guna memastikan stabilitas pasokan beras.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik