
Rencana Kementerian Pertanian untuk mengonversi jutaan hektare lahan karet menjadi kebun kelapa sawit menuai perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi. Dosen Fakultas Pertanian UGM, Dr. Eka Tarwaca Susila Putra, S.P., M.P., menilai kebijakan tersebut mengandung risiko besar, baik dari sisi teknis maupun ekonomi. Secara ekonomi, ketergantungan pada satu komoditas sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Dalam konteks pertanian modern yang penuh tantangan, pendekatan monokultur kerap kali menjadi titik lemah dalam menjaga keberlanjutan produksi. Oleh karena itu, strategi diversifikasi seharusnya menjadi fondasi dalam menyusun arah kebijakan nasional. “Budidaya kelapa sawit secara monokultur dalam lanskap yang sangat luas memiliki risiko tinggi, terutama jika terjadi ledakan hama penyakit,” ujarnya, Kamis (24/7).
Dari sudut pandang agronomi, konversi ini juga dianggap tidak rasional. Eka menyarankan pendekatan revitalisasi kebun karet dengan replanting sebagai langkah yang lebih aman dan berkelanjutan. Ia juga menekankan pentingnya penerapan pola kebun campuran sebagai solusi untuk menghadapi fluktuasi harga. Kebijakan yang hanya mengejar tren harga sesaat justru menciptakan siklus ketergantungan yang merugikan petani. Dengan pola kebun campuran, petani memiliki ruang adaptasi yang lebih baik terhadap gejolak pasar. “Konversi komoditas ketika harganya jatuh bukan pilihan bijak karena situasi semacam ini sudah berulang kali terjadi, dan kita selalu mengulang kesalahan yang sama,” tegasnya.
Terkait alasan konversi yang dikaitkan dengan strategi hilirisasi dan ketahanan energi, Eka menyebut argumen tersebut tidak relevan. Menurutnya, peningkatan produksi CPO untuk mendukung program biosolar bisa dilakukan tanpa memperluas areal sawit. Ia mencontohkan, jika produktivitas CPO ditingkatkan dari 3,5 ton menjadi 7 ton per hektare, maka produksi nasional bisa dua kali lipat tanpa perlu konversi lahan. Ia juga mempertanyakan mengapa justru bukan industri primer karet yang dihilirisasi untuk menopang stabilitas harga. Optimalisasi hasil dari lahan yang sudah ada menunjukkan pilihan kebijakan yang cerdas dan efisien secara sumber daya. “Peningkatan produktivitas dari kebun sawit eksisting lebih rasional dibanding membuka lahan baru, apalagi dengan mengganti karet,” katanya.
Eka juga memperingatkan bahwa langkah ini bisa merusak keberlanjutan industri karet nasional dan posisi Indonesia di pasar global. Jika produksi menurun drastis akibat konversi besar-besaran, Indonesia berpotensi kehilangan pangsa pasar yang selama ini sudah dibangun. Ketergantungan tunggal pada sawit juga dinilai berbahaya karena rentan terhadap harga dan perubahan iklim. Kehilangan posisi dalam statistik produksi global juga akan memengaruhi kepercayaan pembeli internasional terhadap komoditas kita. Hal ini akan mempersempit peluang ekspor dan memperlemah daya tawar Indonesia di sektor pertanian global. “Jika produksi karet kita turun drastis, Indonesia bisa kehilangan posisi strategis di pasar dunia dan berisiko menjadi net importir,” jelas Eka.
Di tingkat petani, konversi ini tidak serta-merta menjanjikan peningkatan pendapatan. Eka menjelaskan bahwa sawit baru menguntungkan jika lahan yang dikelola minimal delapan hektare, sedangkan petani kecil rata-rata hanya memiliki lahan kurang dari dua hektare. Ia berkata bahwa solusinya bukanlah konversi, melainkan intensifikasi lahan melalui pola tanam kebun campuran. Pola tersebut memungkinkan petani mendapatkan pendapatan dari lebih dari satu komoditas sekaligus mengurangi risiko saat harga salah satu komoditas jatuh. Dalam situasi ekonomi pedesaan yang sudah kompleks, pemaksaan kebijakan konversi justru berisiko menambah beban petani kecil. “Pendekatan yang lebih partisipatif dan berbasis kondisi lapangan sangat dibutuhkan agar kebijakan tidak berakhir kontraproduktif,” pesan Eka.
Dari perspektif lingkungan, konversi besar-besaran juga dinilai berbahaya. Monokultur sawit dalam skala luas berisiko menurunkan kualitas sumber daya lahan dan mengancam biodiversitas. Ia mendorong pendekatan kebun campur sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan dan adaptif terhadap tantangan pertanian masa depan. Selain itu, diversifikasi juga membuka peluang bagi sistem pertanian yang lebih resilien terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi secara seimbang. “Diversifikasi komoditas dan pengelolaan terintegrasi menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Eka menyoroti lemahnya proses penyusunan kebijakan ini. Ia menilai kebijakan konversi lahan belum mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh, terutama dari sisi jangka panjang. Ia mengingatkan bahwa risiko-risiko yang tidak diperhitungkan dengan matang justru bisa menjadi bumerang di masa depan. Penyusunan kebijakan yang strategis semestinya melibatkan partisipasi multisektor dan analisis berbasis data yang komprehensif. “Kebijakan ini tampaknya hanya lahir dari pertimbangan sesaat, tanpa melihat dampak luas dan berkelanjutan terhadap petani, lingkungan, dan ekonomi nasional,” ujar Eka.
Sebagai solusi, Eka menawarkan empat langkah bijak yang dapat ditempuh pemerintah. Pertama, mempertahankan kebun karet eksisting dengan program revitalisasi berbasis pola tanam campuran. Kedua, memperkuat industri primer berbasis karet untuk menstabilkan harga di saat harga global jatuh. Ketiga, meningkatkan produktivitas kebun sawit eksisting melalui intensifikasi on-farm. Dan keempat, mengarahkan kelebihan produksi CPO dari hasil intensifikasi untuk mendukung program biosolar seperti B35 hingga B100. Strategi ini dinilai lebih rasional dan berimbang karena tidak mengandalkan ekspansi, melainkan efisiensi dan inovasi. “Dengan skema seperti itu, kita tidak perlu mengorbankan komoditas lain demi sawit, tetapi tetap bisa mewujudkan ketahanan energi,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Ilustrasi: Freepik