
Kasus dugaan korupsi di Pertamina yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193 triliun kembali menguatkan masalah tata kelola dalam perusahaan BUMN ini. Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Prof. Dr. Gabriel Lele, memberikan pandangannya bahwa persoalan yang terjadi saat ini hanyalah puncak dari masalah yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. “Sejak tahun 70-an, korupsi di Pertamina terus terjadi tanpa adanya reformasi struktural yang benar-benar memperbaiki tata kelola. Setiap ada skandal, solusi yang diambil cenderung bersifat reaktif, bukan perbaikan menyeluruh,” ujarnya, Senin (17/3).
Salah satu permasalahan mendasar dalam pengelolaan Pertamina adalah lemahnya pengawasan. Gabriel menilai bahwa mekanisme pengawasan yang ada, baik internal melalui audit maupun eksternal oleh DPR, tidak cukup efektif dalam mendeteksi praktik korupsi.
Jika ditilik dari besarnya angka kerugian, Gabriel menduga terdapat dua kemungkinan, yakni dari sisi pengawasan yang gagal mendeteksi atau memang sengaja dibuat tidak berfungsi. Ia menekankan bahwa pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme internal pemerintah. Sebagai perusahaan yang memonopoli distribusi bahan bakar di Indonesia, Pertamina seharusnya menerapkan transparansi yang lebih luas. Masyarakat baru mengetahui masalah ini setelah skandal meledak, tetapi periode sebelum terasa gelap bagi publik. Maka dari itu, setiap kontrak yang dibuat, termasuk pihak yang terlibat dan nilai transaksinya, seharusnya bisa diakses oleh masyarakat.
Kasus ini juga memperlihatkan dampak monopoli yang dilakukan Pertamina. Di banyak daerah, masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan bahan bakar yang disediakan oleh Pertamina, meskipun dengan harga dan kualitas yang tidak ideal. Gabriel mengusulkan agar pemerintah membuka lebih banyak ruang bagi kompetitor untuk masuk ke pasar energi. “Tapi karena Pertamina memegang monopoli, masyarakat tidak punya opsi lain, bahkan untuk sekadar menyuarakan ketidakpuasan,” katanya.
Selain potensi dampak kerusakan pada kendaraan, dampak skandal ini diperkirakan tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah dan BUMN secara keseluruhan. “Jika Pertamina tidak segera melakukan reformasi internal, kasus ini bisa berimbas pada sektor investasi, terutama dari pihak asing yang tentu mempertimbangkan stabilitas dan transparansi dalam menanamkan modalnya,” paparnya.
Sebagai langkah perbaikan, ia menekankan pentingnya membangun mekanisme pengawasan yang melibatkan publik, bukan hanya pengawasan internal. “Minimal transparansi, syukur-syukur ada partisipasi publik dalam mengawasi kebijakan strategis Pertamina. Jika tidak ada reformasi nyata, kita hanya akan melihat skandal yang sama terulang di masa depan,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik