Bencana antropogenik adalah bencana yang diakibatkan oleh tindakan atau kelalaian manusia, saat ini sudah menjadi ancaman serius dan memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan. Pasalnya tekanan antropogenik ini makin mendorong krisis planet mulai dari perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan siklus karbon, alih fungsi lahan secara masif, polusi kimia, dan krisis sumber daya air. Kondisi ini menciptakan ancaman serius terhadap ekosistem bumi, sehingga membutuhkan respon hukum yang lebih efektif. Meski begitu, kerangka hukum lingkungan global pun masih belum mampu menangani kompleksitas krisis ekologi yang semakin besar, terutama karena fragmentasi regulasi, kurangnya komitmen politik global, dan pendekatan kebijakan lebih bersifat reaktif.
Hal itu mengemuka dalam Forum Group Discussion yang bertajuk ‘Legal Challenges to Address Planetary Crisis in the Anthropocene’,di Ruang Sidang Pimpinan Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Kamis (3/10). Diskusi yang diselenggarakan oleh Biro Manajemen Strategis (BMS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) ini menghadirkan dua pembicara yakni Prof. Dr. Louis Kotzé, selaku Research Professor di Faculty of Law, North-West University, South Africa dan Chief Executive Officer dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M, dan beberapa tim pakar dari berbagai Fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada.
Prof. Louis Kotzé, menuturkan agenda reformasi hukum dalam menghadapi krisis planet saat ini telah menjadi hal krusial yang segera dilakukan. Sebab selama ini hukum lingkungan saat ini terbatas pada menentukan ‘limitasi’ terhadap dampak dari suatu aktivitas manusia kepada lingkungan berdasarkan satu wilayah saja, tetapi tidak memperhitungkan dampak kumulatif yang akan dihasilkan dalam lingkup sistem bumi yang lebih luas. “Diperlukan paradigma baru dalam hukum lingkungan yang tidak hanya mengutamakan kepentingan manusia, tetapi juga mempertimbangkan ekosistem dan prinsip-prinsip seperti integritas ekologis dan keadilan ekologis,” katanya.
Achmad Santosa menegaskan saat ini semakin bertambahnya krisis, kerangka hukum dan kebijakannya semakin melentur. Ia menekankan bahwa masyarakat dan pemerintah perlu melakukan rekonstruksi dan paradigma baru terhadap hukum tata lingkungan. “Seperti yang diketahui, saat ini hukum hanya tegak untuk manusia, tetapi lingkungan masih ditinggalkan,” ujarnya.
Menurutnya tekanan antropogenik berdampak pada krisis planet yang dapat dilihat dari terjadinya perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan siklus karbon, alih fungsi lahan secara masif, polusi kimia, dan krisis sumber daya air. “Kondisi ini memberi ancaman serius terhadap ekosistem bumi, sehingga membutuhkan respon hukum yang lebih efektif,”paparnya,
Meski begitu, Kotze yang merupakan ahli pada hukum dalam mengatasi planet crisis, menyampaikan bahwa konsep antroposen, meski belum diakui secara resmi memberikan perspektif baru untuk memahami dampak manusia terhadap sistem bumi. Baginya, hal itu memberi kesempatan untuk menghargai dampak manusia dalam sistem bumi. “Penting untuk diingat bahwa antroposen bukan hanya tentang kehancuran, namun tentang kekuatan yang menyebabkan kehancuran bumi. Di sisi lain, ini juga sebagai penyelesaian untuk menambah pemahaman dalam menghadapi masalah kompleks yang kita hadapi saat ini,” tuturnya.
Untuk mengatasi krisis ekologi di era Antroposen, diperlukan pergeseran paradigma dalam hukum lingkungan. Pergeseran ini harus berfokus pada prinsip-prinsip baru seperti integritas ekologis (green integrity), batasan ekologis (ecological boundaries), dan keadilan ekologis (eco-justice), yang mengutamakan ekosistem dan lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Dengan mengadopsi paradigma baru ini, hukum lingkungan diharapkan dapat menjadi lebih responsif terhadap tantangan global yang terus berkembang dan memberikan solusi yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi krisis planet.
Sementara I Made Andi Arsana, S.T., M.Eng., Ph.D., dosen Departemen Teknik Geodesi UGM dengan bidang keahlian aspek geospasial hukum laut, menegaskan bahwa krisis planet, seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, adalah kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Namun, ia mengamati bahwa banyak regulasi hukum yang dibuat tidak cukup memperhatikan kondisi ini. Ia menilai perlu adanya keterlibatan berbagai disiplin ilmu dalam merumuskan hukum yang lebih komprehensif. “Jika kita ingin memperbaiki situasi ini, kita harus mulai dari hukum yang lebih peduli terhadap situasi planet,” ungkapnya ketika diwawancara oleh wartawan.
Made Andi menyebutkan salah satu tantangan utama adalah bahwa pembentukan hukum sering kali dilakukan oleh institusi resmi yang bersifat monodisiplin. Hal ini menciptakan kebutuhan akan kerjasama antar disiplin agar hukum yang dihasilkan dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto