Pemerintah memasang 10 titik layanan internet berbasis satelit SATRIA-1 di wilayah terdampak banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai upaya mempercepat pemulihan konektivitas. Menanggapi langkah tersebut, peneliti Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Iradat Wirid menilai bahwa kehadiran layanan berbasis satelit sangat membantu proses komunikasi darurat, namun tetap memerlukan kesiapan perangkat, koordinasi antarlembaga, serta strategi mitigasi bencana yang lebih matang.
Iradat menjelaskan bahwa satelit dapat menjadi solusi penting saat infrastruktur komunikasi darat rusak. Layanan infrastruktur berbasis satelit memberikan alternatif signifikan di lokasi-lokasi yang terputus akibat bencana. Namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh kesiapan perangkat terminal seperti VSAT di lapangan. “Dalam banyak kasus, terminal ini juga bisa rusak atau hilang karena dampak banjir dan longsor, sehingga perangkat portabel harus selalu tersedia untuk situasi darurat,” kata Iradat, Selasa (9/12).
Menurutnya, pemasangan titik SATRIA-1 di wilayah terdampak adalah langkah tepat untuk memulihkan konektivitas dasar masyarakat. Meski demikian, penyediaan internet darurat bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesiapan organisasi. “Dalam kondisi bencana, koordinasi antar lembaga baik pusat maupun daerah, menjadi tantangan pertama dan paling besar. Sering kali masing-masing pihak saling menunggu sehingga masyarakat makin sulit. Karena itu, sejak awal harus jelas siapa memimpin, siapa melakukan apa, dan bagaimana alur komandonya,” ujarnya.
Di situasi pasca bencana yang menelan ratusan korban jiwa ini, Iradat menilai warga memerlukan pemimpin yang bisa menguasai birokrasi sekaligus menenangkan publik. Oleh karena itu, kecepatan pengambilan keputusan sangat menentukan saat infrastruktur hancur dan masyarakat panik. “Kita punya pengalaman dari bencana besar seperti tahun 2004, dan dengan teknologi yang kini jauh lebih maju, seharusnya kita lebih siap, asal anggaran mitigasi tidak terus dipangkas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Iradat berharap pemanfaatan SATRIA-1 tidak berhenti pada respons darurat, tetapi menjadi bagian dari strategi besar peningkatan kesiapsiagaan nasional. Meski teknologi satelit memang penting, tetapi bukan satu-satunya jawaban mengatasi persoalan layanan komunikasi yang diperlukan warga. Menurutnya, pemerintah perlu investasi besar pada upaya mitigasi, penanganan bencana, dan terutama literasi kebencanaan masyarakat. Pasalnya, banyak warga yang belum memiliki pengetahuan dasar tentang apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi. “Literasi ini penting agar masyarakat bisa memberikan respons awal sambil menunggu bantuan datang, tanpa merasa bahwa ‘warga bantu warga’ adalah satu-satunya pilihan,” tuturnya.
Sebagai penutup, ia menjelaskan bahwa keberadaan SATRIA-1 adalah langkah maju, namun harus diimbangi dengan perencanaan matang, pembagian peran yang jelas, dan peningkatan ketangguhan masyarakat. “Negaralah yang bertanggung jawab mengelola bencana, tetapi masyarakat yang melek literasi kebencanaan akan jauh lebih siap menghadapi kondisi darurat. Dengan kombinasi teknologi, koordinasi, dan kesiapsiagaan publik, respons bencana dapat berjalan lebih cepat dan tepat sasaran,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik
