Pakar Pengelolaan dan Pengembangan Daerah Rawa UGM Prof. Dr. Ir. Budi Santosa Wignyosukarto, Dip. H.E., baru saja memperoleh Penghargaan Sutami Awards 2025 dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pada Malam Apresiasi Sutami Awards 2025, Senin (1/12) lalu, di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta. Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik dan Sekolah Pascasarjana UGM ini berhasil menjadi pemenang pada kategori akademisi dalam dedikasinya sebagai Pakar Rawa pada Revitalisasi Eks Mega Rice.
Keahlian dari akademisi senior UGM ini juga telah menjangkau aspek teknis, pemodelan, konservasi, hingga mitigasi risiko lingkungan, sehingga berhasil menjadikannya salah satu pakar yang banyak dirujuk dalam program rehabilitasi dan revitalisasi lahan rawa, seperti pada Revitalisasi Eks Mega Rice. “Pasti sangat senang menerima penghargaan Sutami Award ini. Sebuah pengakuan terhadap eksistensi saya dalam pengembangan daerah rawa. Di saat sudah surut dari kegiatan akademik, tiba-tiba diundang untuk menerima penghargaaan yang tidak dibayangkan sebelumnya,” ungkapnya dalam wawancara, Jumat (19/12).
Ketertarikan Budi pada bidang ini telah dimulai sejak tahun 1974, ketika ia masih menjadi mahasiswa dan terlibat dalam kegiatan Pengembangan Daerah Rawa bersama dosennya, Prof. Hardjoso dan Prof. Soenarjo. Saat itu, ia mengikuti survei lapangan dalam Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S) di berbagai wilayah Kalimantan, meliputi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. “Waktu itu saya ikut mengamati gerakan muka air sungai saat pasang surut, menilai kualitas air dan tanah, hingga membuat desain saluran yang mampu membuang air hujan,” tuturnya.
Modal keilmuan tersebut membawanya melanjutkan studi ke IHE Delft, Belanda (1979 – 1980) dalam bidang Land and Water Development, serta ke INPG Grenoble, Prancis (1982 – 1985), untuk mendalami pemodelan matematik aliran dan kualitas air di lembaga riset hidraulika Sogreah. Disertasinya berjudul “Studi tentang Pengenceran Hasil Pencucian Tanah dalam Jaringan Irigasi Pasang Surut,” yang menjadi rujukan penting dalam simulasi pengelolaan keasaman dan salinitas lahan rawa.
Ketika ditanya mengenai tantangan terbesar selama menjalani peran sebagai akademisi, Budi menjelaskan bahwa pengembangan dan pengelolaan daerah rawa merupakan pekerjaan yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut mencakup berbagai variabel yang saling berinteraksi, mulai dari sumber daya lahan seperti tanah gambut, pasir, dan tanah mineral, sumber daya air yang meliputi air sungai, curah hujan, hingga intrusi air laut, serta sumber daya manusia dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya.
Menurutnya, tantangan paling berat muncul ketika keputusan politik yang melandasi kebijakan pengembangan tidak didasarkan pada pengetahuan dan kajian ilmiah yang memadai. Pada awal tahun 1970-an, saat kajian tentang rawa mulai berkembang, masih banyak permasalahan yang ditemui, terutama hambatan desain pada lahan gambut dan lahan rawa dengan potensi sulfat masam. Dari proses pembelajaran tersebut kemudian lahir berbagai pendekatan dan desain yang lebih mempertimbangkan karakteristik alami lahan rawa.
Salah satu contoh keputusan politik yang menuai banyak penolakan kala itu adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) pada tahun 1996. Proyek tersebut berangkat dari anggapan bahwa lahan rawa identik dengan lahan gambut, padahal gambut hanyalah salah satu pembentuk lahan rawa, selain tanah mineral hasil endapan aluvial dan marin, serta pasir. Berangkat dari asumsi tersebut, PLG membangun jaringan tata saluran makro yang dirancang untuk memasukkan air sungai ke kawasan rawa sebagai air irigasi sekaligus membuang air rawa ke tengah delta. Sistem besar ini menemui banyak masalah karena ingin menyelesaikan kompleksitas permasalahan lahan rawa dalam satu sistem.
Pada awal tahun 2020, Ia juga terlibat aktif dalam upaya revitalisasi eks melalui pengenalan Smart Water Management di kawasan Dadahup, Kalimantan Tengah. Kawasan seluas 20.000 hektar tersebut dikelola dengan sistem polder dan dilengkapi pintu air serta perangkat telemetri untuk memantau elevasi muka air, pH, salinitas, dan curah hujan secara daring. “Kami dari Lab Hidraulika UGM turut membantu memasang alat telemetri dengan sensor elevasi muka air, pH air, salinitas air, dan curah hujan. Alat ini dapat dipantau online, sehingga dapat membantu proses operasi pintu-pintu air, dalam upaya memantau kualitas air di lahan,” terang Budi.
Selain itu, saat ini Budi juga masih aktif dalam mendukung berbagai kegiatan pengelolaan rawa dan lingkungan, antara lain bersama BKSDA Sumatera Selatan dalam kajian pengendalian kebakaran hutan di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, serta dengan Balai Wilayah Sungai Sulawesi III dalam perencanaan Daerah Irigasi Salugan, Lampasio, Kabupaten Tolitoli.
Ia berharap, riset yang dilakukan dari para akademisi dapat membantu dan berani meluruskan kebijakan yang keluar dari kaidah akademik. Banyak kompleksitas sosial, ekonomi dan politik yang keluar dari kaidah-kaidah keilmuan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. “Untuk mengatasi masalah lingkungan, tentu diperlukan bantuan akademisi untuk menyuarakan perlunya ilmu pengetahuan yang menuntun perbaikan kehidupan di muka bumi ini,” pungkas Budi.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Peneliti
