Pusat Kajian Law, Gender, & Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menghadiri undangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRP) dalam public hearing atau diskusi publik terkait Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1954 tentang Larangan Pelacuran di Tempat Umum pada Rabu (12/06/2024). Acara tersebut diadakan sebagai bentuk fasilitasi DPRD DIY untuk mendengarkan pandangan masyarakat yang diwakili oleh para ahli/pakar. Selain itu, acara ini juga menjadi sarana diskusi antara pemerintah dan masyarakat.
“Perda 18/1954 dianggap sudah cukup lama dan tidak relevan,” ungkap Nurholis Suharman selaku Ketua Pansus dalam pembukaan acara ini. Kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan dari dua narasumber, yakni Istiana Hernawati selaku Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Vinolia Wakijo sebagai Direktur Yayasan Kebaya Yogyakarta.
Istiana memaparkan kajian tentang larangan pelacuran di tempat umum dan memberikan beberapa rekomendasi terkait perubahan Perda 18/1954. Di sisi lain, Vinolia memaparkan materi mengenai kebijakan pelacuran yang perlu dipandang melalui hak asasi manusia. Penyampaiannya tersebut berdasarkan dengan pengalaman Yayasan Kebaya Yogyakarta dalam pembinaannya terhadap masyarakat pengidap HIV/AIDS.
Perwakilan dari LGS Fakultas Hukum UGM, Muhammad Ryandaru Danisworo, S.H., LL.M, bersama dengan Maryamul Chumairo A.M., S.H. selaku peneliti LGS menyampaikan kajian yang dilakukan LGS, “Fenomena pelacuran merupakan hasil dari kesenjangan ekonomi ekstrim serta isu kesetaraan gender, sehingga perempuan yang terlibat dalam pelacuran dapat diposisikan sebagai korban. Perempuan yang terlibat dalam pelacuran mengalami viktimisasi berlapis karena posisinya yang termarjinalkan.” Menurut kajian yang dilakukan LGS, viktimisasi tersebut termasuk viktimisasi dari kejahatan seperti perdagangan orang dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
“Bahkan, ketika perempuan yang terlibat dalam pelacuran mencoba mendapatkan keadilan, kerap kali malah mendapatkan diskriminasi dari masyarakat dan juga penegak hukum,” timpal perwakilan LGS dalam diskusi terbuka tersebut.
Menimbang permasalahan ini, LGS turut merekomendasikan pemerintah untuk melakukan kajian yang partisipatif, sensitif gender, dan menggunakan perspektif hak asasi manusia. LGS juga menyampaikan beberapa model pengaturan fenomena pelacuran yang dapat dipertimbangkan oleh DPRD DIY, termasuk model peresponan pelacuran dari akar permasalahannya.
LGS menyampaikan kesiapan dan berkomitmen untuk membantu DPRD DIY untuk merespon fenomena pelacuran di Yogyakarta. Kehadiran LGS dalam kegiatan ini menjadi bukti pendukungan SDGs pilar pertama untuk mengentaskan kemiskinan, SGDs pilar kelima dalam hal kesetaraan gender, dan SDGs pilar ke-16 yang berkaitan dengan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.
Penulis: Arimbi Fajari Furqon