Puluhan kolam tambak udang yang berjejer sepanjang pesisir pantai selatan Yogyakarta kini berdampak pada lautan. Limbah harian yang disalurkan melalui pipa dibuang begitu saja ke laut lepas. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun, hingga pada tahun 2019 masyarakat dikejutkan karena ratusan ikan mati mengambang di pinggir pantai. Kejadian tersebut kemudian disusul oleh keluhan nelayan yang kesulitan mendapatkan ikan dalam dua tahun terakhir.
“Sebagian besar pantai selatan itu sudah jadi lahan tambak. Kita punya data hewan-hewan yang terdampar dan mati, baik itu paus, lumba-lumba, penyu, hiu paus, dan lain-lain. Namun kasus-kasus ekstrem baru kita temukan di dua tahun terakhir. Sebelum ada tambak, itu kasus per tahun bisa dihitung dengan jari. Setelah ada tambak meledak,” ungkap Dr. drh. Slamet Raharjo, MP, Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM dalam Podcast Lestari (PoLes), Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM pada Kamis (30/11). Fenomena tersebut diperkirakan terjadi akibat menurunnya kualitas air laut yang tercemar limbah. Tambak di sepanjang pesisir pantai selatan tidak memberlakukan pengolahan kembali terhadap limbah yang dihasilkan, melainkan langsung dibuang ke laut.
Budi daya udang di satu sisi memang sangat dibutuhkan oleh perekonomian, utamanya untuk memenuhi asupan protein masyarakat. Drh. Slamet juga menuturkan, lokasi pesisir pantai memang merupakan tempat yang paling bagus untuk budi daya udang. Terutama jika udang yang dibudidayakan adalah udang air laut. Namun tentunya, penempatan tambak udang di area pesisir pantai perlu mempertimbangkan segala dampaknya. Termasuk sistem pembuangan limbah yang aman bagi lingkungan.
Tambak udang sendiri didefinisikan sebagai budi daya intensif, atau budi daya yang sepenuhnya dilakukan manusia. Aktivitas seperti olah lahan, pemberian pakan, hingga pergantian air menjadi bagian dari kegiatan tambak yang menghasilkan limbah. Setiap harinya, peternak akan memberikan pakan yang memiliki kandungan protein hingga 38%. Imbasnya, hasil metabolisme udang yang diberi pakan ini menghasilkan senyawa nitrat, nitrit, amonia, karbon monoksida, dan lain-lain. Kandungan senyawa ini akan terakumulasi dan dalam kadar tertentu berpotensi mencemari lautan.
“Pakan yang tidak dimakan akan mengendap, setiap hari di tambah lagi. Kemudian ada mikroba yang menghasilkan amonia. Nah, begitu dipanen, air bekas tambak ini idealnya harus diproses sebelum dibuang ke laut. Tapi kebanyakan justru langsung dibuang ke laut. Senyawa-senyawa tadi itu kemudian mengapung dan terbawa arus,” ujar drh. Slamet. Pada satu titik tertentu, limbah sampai pada daerah habitat plankton, salah satu penghasil oksigen di lautan sekaligus makanan paus. Ketika paus memakan plankton tersebut, limbah pun ikut termakan dan meracuni paus.
Salah satu langkah penting untuk mencegah kembali munculnya pembuangan limbah tidak bertanggung jawab, adalah merevisi kembali perizinan untuk membangun tambak di area pesisir. Drh. Slamet menyebutkan, mayoritas pemilik tambak di pantai selatan Yogyakarta adalah korporasi besar. Petani tambak di area tersebut merupakan masyarakat lokal yang tidak tahu menahu soal perizinan. Begitupun dengan pemilik tambak yang bukan masyarakat lokal. Hal ini menambah rumit masalah, karena korporasi tidak memperhatikan dampak lingkungan tempat tambak dibangun.
“Ini perlu ada upaya untuk perizinannya. Karena kita tahu udang juga salah satu kebutuhan industri. Harga udang di pasaran, semakin banyak maka semakin murah. Jadi peternak banyak yang mengusahakan agar ukuran udangnya besar dan seragam, salah satunya dengan pakan tinggi protein tadi. Maka harus ada perizinan yang mengatur khusus tambak untuk mengolah kembali limbah yang dihasilkan sebelum dibuang ke laut,” terang dr. Slamet.
Penulis: Tasya