Lobster dan Benih Bening Lobster (BBL) merupakan dua komoditas menjanjikan sekaligus sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Dua komoditas ini tersedia dalam jumlah yang melimpah di sepanjang pantai selatan Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara. “Lobster menjadi komoditas sangat penting di Yogyakarta dan menjadi komoditas pemantik beralihnya masyarakat pesisir dari petani ke nelayan di awal 1980-an”, ungkap Guru Besar Departemen Perikanan Fakultas Pertanian UGM Prof. Suadi, S.Pi., M.Sc, dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik Pengelolaan Lobster dan Benih Bening Lobster , Selasa (29/10), di kampus UGM.
Forum diskusi ini dihadiri oleh kelompok nelayan dari Kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kulon Progo, HNSI Gunung Kidul dan Bantul, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi DIY, DKP Kabupaten Gunung Kidul dan DKP Bantul serta staf pengajar program studi Manajemen Sumberdaya Akuatik.
Suadi menjelaskan nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki modal sosial yang tinggi. Hal tersebut nilainya sangat penting sebagai ruh dalam resolusi konflik dalam pengelolaan lobster. Disebutnya sangat jarang terjadi konflik besar di DIY terkait pengelolaan lobster dan Benih Bening Lobster. “Tingginya kematangan lembaga-lembaga informal kelompok nelayan untuk berembug menjadi kekuatan dalam mencari jalan keluar terbaik dalam mengurai permasalahan yang terjadi,” ujarnya.
Meskipun tren untuk memanfaatkan BBL lebih populer di DIY dan hampir di seluruh pantai selatan Jawa, namun masih terdapat beberapa kelompok nelayan yang mencermati resiko pengambilan BBL ini dengan pendekatan kehati-hatian.
Anes Dwi Jayanti, Ph.D Cand, Departemen Perikanan UGM dalam kesempatan ini menyampaikan soal siklus hidup lobster dan berbagai implikasi penangkapan BBL dan lobster jika tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Untuk itu, ia memaparkan secara panjang lebar terkait regulasi dan tata kelola BBL mengacu pada Permen KP no 7 tahun 2024 tentang pengelolaan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.) dan rajungan (Portunus spp.).
Catur Nur Amin, A.Pi., MMA, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta menyoroti masih adanya kendala dalam proses administrasi dan pendataan terutama dalam penggunaan aplikasi siloker untuk pencatatan hasil tangkapan BBL yang perlu dilaporkan hingga ke pemerintah pusat.
Sedangkan Johan Wijayanto selaku Kepala Dinas Perikanan Gunung Kidul Johan Wijayanto menyampaikan jika pemerintah telah mengupayakan untuk dapat melaksanakan proses pelayanan sesuai aturan regulasi bagi kemudahan usaha perikanan nelayan. “Kami berharap dengan kemudahan yang diberikan, ada bentuk respon ketaatan terhadap aturan dan diperkuatnya pengawasan dan penegakan hukum,” ungkapnya.
Ketua Nelayan Pantai Baron, Sumardi dan Ketua Nelayan Pantai Sadeng, Sarpan, merasa terkendala mengenai “race to fish” dengan nelayan luar DIY. Keduanya mengaku kesulitan input pendataan tangkapan, dan memerlukan perumusan resolusi konflik internal antara nelayan DIY dan nelayan luar DIY. “Kita sangat ingin bagaimana berbagai permasalahan ini bisa dilembagakan pengelolaan lobster dan BBL sehingga bentuk perikanan dua komoditas ini dapat dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan,” ucap Sumardi.
FGD Pengelolaan Lobster dan Benih Bening Lobster ini mendapat dari para nelayan dan Dinas Perikanan DIY dan Kabupaten dan mengusulkan untuk dilakukan follow-up. Diharapkan dilakukan pertemuan rutin seperti triwulan sekali agar proses melembagakan tata kelola lobster dan BBL sejalan dengan aturan, memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakat nelayan dan berkelanjutan.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : IDN Times Jogja