
Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia kini justru dihadapkan pada tantangan serius, yakni meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri serta naiknya angka pengangguran. Isu ini kemudian menjadi bahan diskusi penting yang disampaikan oleh dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM dan juga peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si., pada Senin (26/5), di kegiatan Sekolah Wartawan.
Hempri mengungkapkan bahwa isu PHK telah menjadi ‘ancaman superproduktif’ yang merambah lintas sektor. Tidak hanya industri padat karya seperti garmen dan tekstil yang sebelumnya dominan terdampak, kini gelombang PHK juga menyentuh industri teknologi dan media. “Ribuan karyawan sudah di PHK, seperti di Panasonic, Microsoft, Shopee, Tokopedia juga terkena. Bahkan media-media besar sudah melakukan penyesuaian konten, efisiensi tenaga kerja, dan perubahan pola bisnis,” ujar Hempri.
Dari sejumlah survei yang Hempri paparkan, salah satunya dari Survey Asosiasi Pedagang Indonesia, terdapat beberapa faktor utama penyebab PHK antara lain penurunan daya beli masyarakat, efisiensi anggaran perusahaan, kenaikan biaya produksi, otomatisasi dan adopsi teknologi, serta ketergantungan pada pasar ekspor. “Kondisi ini tentunya membawa dampak signifikan pada struktur sosial ekonomi masyarakat. Salah satu yang paling disorot adalah potensi menurunnya kelas menengah. Ketika kelas menengah turun, daya beli melemah, angka kemiskinan pun berisiko naik,” tuturnya.
Dalam hal ini, Hempri memberikan sejumlah langkah yang direkomendasikan untuk mengatasi adanya PHK. Pertama, adanya revisi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2024, dimana perlu ada regulasi yang membatasi masuknya produk asing secara masif dan tidak terkontrol. Kemudian mendorong ekosistem pengembangan usaha yang kondusif, membuat kebijakan-kebijakan untuk mengatasi korban PHK, pengadaan hilirisasi inovasi, bantuan sosial, serta stimulus untuk kelas menengah meliputi akses modal, teknologi, pemasaran, dan pelatihan berbasis kebutuhan pasar yang nyata.
Menurutnya, fleksibilitas dalam rekrutmen juga menjadi sangat penting, terutama dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, seperti meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor ini. Maka dari itu, Hempri juga sepakat dan menyetujui rencana Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli untuk menghapus batasan usia sebagai syarat dalam lowongan pekerjaan. “Fleksibilitas ini penting karena banyak orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah harus mendorong penciptaan lapangan kerja sekaligus memberi akses lebih luas kepada masyarakat dari berbagai kelompok usia untuk bekerja secara layak,” katanya.
Namun, Hempri juga menekankan bahwa perubahan regulasi ketenagakerjaan harus tetap berpijak pada prinsip hak asasi manusia, terutama dalam konteks perlindungan terhadap anak. “Jangan sampai kita membuka akses kerja tetapi justru mengorbankan hak tumbuh kembang anak. Usia anak itu adalah masa membangun karakter dan inovasi, bukan untuk bekerja. Jadi meski aturannya dihapus, tetap batasan usia itu diperhatikan,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie