Phasiree Thanasin terlihat cukup serius menggerakkan canting menorehkan cairan malam mengikuti pola batik bermotif bunga. Meski jari-jemarinya nampak belum begitu mahir membawa canting, wanita asal Thailand ini tak lantas menyerah begitu saja. Ia berusaha menyelesaikan kegiatan membatiknya hingga semua pola tergambar rapi.
Membuat batik tulis memang bukanlah hal yang mudah, butuh ketelitian dan keuletan yang tinggi, terlebih bagi Phasiree Thanasin yang sama sekali belum mengenal teknik membatik tulis. Phasiree Thanasin merupakan salah satu peserta Global Summer Week (GSW) 2024 yang tengah mengikuti field trip di Desa Wukirsari yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada Kamis (18/7).
Dalam kegiatan field trip kali ini diikuti sebanyak 30 mahasiswa asing dari berbagai negara dunia dan 56 mahasiswa Indonesia yang tersebar ke 10 lokasi field trip di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berada di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Melalui kegiatan field trip ini para mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengenal dan belajar langsung terkait kewirausahaan sosial yang dijalankan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah DIY.
Mahasiswa asal Chiang Mai University ini memanfaatkan betul kesempatan yang diberikan padanya untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang kewirausahaan sosial yang dijalankan di Indonesia, khususnya di Desa Wukirsari, Kabupaten Sleman, DIY.
“Wukirsari adalah desa kerajinan dan disini saya banyak merefleksikan budaya Chiang Mai dan Thailand karena Chiang Mai adalah jantung kerajinan di Thailand. Kami memiliki banyak desa kerajinan yang mirip dengan wisata kerajinan,” paparnya.
Ia mengaku ada banyak persamaan sekaligus perbedaan budaya maupun dalam menjalankan kewirausahaan. Di Indonesia terkenal dengan budaya gotong-royong di masyarakatnya, hal tersebut juga dimiliki oleh masyarakat Thailand.
“Di Thailand, masyarakatnya mencoba melakukan sesuatu seperti gotong royong, seperti seluruh desa yang bekerja bersama,” jelasnya.
Phasiree Thanasin mengaku kesempatan ini merupakan kali pertamanya berkunjung dan merasakan interaksi langsung dengan masyarakat Indonesia. Ia merasakan pengalaman budaya yang sangat luar biasa lewat kegiatan GSW 2024 ini dan belajar lebih dalam tentang kewirausahaan sosial di Indonesia.
“Melalui kegiatan GSW ini saya bisa mengetahui lebih banyak hal dan belajar langsung tentang Indonesia,” ucapnya.
Hal senada disampaikan oleh mahasiswa Nanyang Technological University, Desiree Chooi Huien. Pria asal Singapura ini merasakan sebuah perjalanan dan pengalaman menarik selama mengikuti GSW 2024.
“Saya memperoleh pengalaman turun ke yayasan dan desa untuk belajar lebih banyak tentang bagaimana kewirausahaan bekerja di Indonesia,” terangnya.
Dengan kunjungan lapangan ini mampu membuka cakrawalanya untuk melihat langsung bagaimana masyarakat Indonesia mencoba memadukan alam dengan berbisnis dan menggunakan sumber daya yang dimiliki. Masyarakat membangun bisnis demi kemajuan diri mereka sendiri dan masyarakat.
“Belajar dari para senior di desa ini sangat memperkaya pengetahuan saya,” ungkapnya.
Sementara itu, Desiree Chooi Huien mengatakan di Singapura tidak memiliki banyak sumber daya alam layaknya Indonesia. Ketika dia melihat berbagai hal yang ada di Desa Wukirsari, semuanya dilakukan sangat alami dan membumi.
“Tidak seperti di Singapura yang segala sesuatunya bergerak sangat cepat, di Desa Wukirsari budaya dan tradisi sangat terasa kental dan menjadi pegangan masyarakatnya,” tuturnya.
GSW 2024 merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan FEB UGM sejak tahun 2014 silam. GSW diselenggarakan dalam berbagai bentuk seperti executive talk, kuliah, kunjungan lapangan, proyek kewirausahaan sosial, dan kegiatan budaya.
Pada tahun 2024 ini GSW mengusung tema “Sustainable Futures: Igniting Change through Social Entrepreneurship and Innovation”. Dalam kegiatan yang berlangsung selama 11 hari, pada 15-25 Juli 2024 ini diikuti 30 mahasiswa asing dari berbagai negara di dunia dan 56 mahasiswa dari sejumlah universitas di Indonesia.
Wawancara: Mahendra Hermawan S
Penulis: Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM