Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyambut kehadiran belasan akademisi dan mahasiswa doktoral dari berbagai negara untuk belajar tentang peran filsafat dan agama di lanskap dunia yang maju secara teknologi, Selasa (1/10). Terdapat 11 mahasiswa doktoral yang mengikuti program Globethics Doctoral School (GDS) yang berasal dari Rwanda, India, Burundi, Myanmar, Kolombia, dan Indonesia. Selain itu, program ini juga diikuti oleh peneliti Globethics yang berasal dari Swiss, Jerman, serta Argentina.
Pada sesi GDS yang berlangsung di Fakultas Filsafat, para peserta mengikuti kelas singkat yang diisi oleh dua guru besar Departemen Filsafat Agama, Prof. Dr. Lasiyo, M.A., M.M., dan Prof. Drs. M. Mukhtasar Samsyudin, M.Hum., Ph.D of Arts.
Lasiyo memberikan penjelasan terkait konteks agama dan kebudayaan di Indonesia. Meskipun tidak dapat disamakan, menurut Lasiyo agama dan budaya dapat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan dan praktik kehidupan. Sebaliknya, budaya juga dapat mempengaruhi agama, terutama dalam hal bagaimana agama ditafsirkan dan bagaimana ritualnya harus dipraktikkan.
“Budaya Indonesia mengandung nilai-nilai humanisme, yang dapat ditemukan dalam banyak komponen budaya. Humanisme dalam budaya Indonesia memiliki relevansi dalam prinsip kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab, yang juga memperkuat penerapan nilai-nilainya karena meningkat dan mencapai persaudaraan dunia,” terang Lasiyo.
Pada kesempatan yang sama, Mukhtasar menjelaskan bagaimana keberagaman budaya dan agama yang kaya di Indonesia membutuhkan kerangka etika yang menghormati tradisi lokal sambil mengatasi tantangan global. Berinteraksi dengan filsafat memungkinkan pemeriksaan kritis terhadap nilai-nilai dan kepercayaan, sementara teknologi menyediakan alat untuk komunikasi dan inovasi yang efektif. “Membangun jembatan antara filsafat, teknologi, dan agama di Indonesia merupakan hal yang penting untuk mendorong pendekatan etika global yang kohesif dan inklusif. Saat Indonesia menghadapi masalah global yang mendesak, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan keadilan sosial, kerangka etika yang terintegrasi dapat memandu respons yang efektif,” terang Mukhtasar.
Topik yang dibahas dalam sesi kali ini selaras dengan tema utama GDS yaitu “Ethics of Inclusive Peace and Responsible Governance” yang membahas bagaimana mengatasi defisit etika. Tema ini sangat relevan dengan tantangan korupsi, kurangnya transparansi, dan akuntabilitas yang menjadi sorotan, menunjukkan kebutuhan yang mendesak akan kepemimpinan etika di berbagai sektor.
Jason Kokkeragadda, salah satu peserta dari Indian Advanced Institute for Research on Religion and Culture (ARRC), mengatakan Filsafat India dan Indonesia banyak memberikan penekanan pada sosial. Semnetara di dunia yang terus berkembang secara teknologi ini. “Menarik untuk melihat bagaimana teknologi bertindak sebagai alat untuk mewujudkan kesetaraan dan bukannya memunculkan kesenjangan seperti yang banyak terjadi selama ini,” tuturnya.
Penulis : Gloria/Humas Filsafat
Editor : Gusti Grehenson