Air bersih menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat, termasuk di wilayah Kota Yogyakarta. Tingginya kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta memicu peningkatan kebutuhan air bersih bagi warganya.
Data PDAM Tirtamarta, salah satu penyedia kebutuhan air bersih di Kota Yogyakarta, mencatat bahwa per 30 Januari 2023 terdapat 9,23 persen penduduk di kota ini menggunakan layanan PDAM. Artinya, lebih dari 90 persen masyarakat Kota Yogyakarta menggunakan air tanah (sumur) atau sumber air lainnya sebagai sarana penyedia air bersih.
Sayangnya, sejumlah penelitian menemukan adanya cemaran bakteri Escherichia coli sebesar 40 persen pada hampir seluruh air sumur di Kota Yogyakarta. Cemaran bakteri tersebut berpotensi menyebabkan diare dan memengaruhi kejadian stunting dalam jangka panjang.
Pembuatan atau pengeboran sumur yang kurang tepat diduga menjadi salah satu faktor penyebab munculnya cemaran E. coli di sumur warga. Sementara regulasi mengenai izin pembangunan sumur di wilayah Kota Yogyakarta sebenarnya telah tertera di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perizinan Air Tanah di Pemerintah Kota Yogyakarta.
Meski begitu, aturan tersebut saat ini hanya berlaku secara administratif saja karena di dalam peraturannya disebutkan bahwa pembangunan sumur untuk kebutuhan rumah tangga tidak perlu melalui izin. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan dan dapat memicu permasalahan sosial dan ekonomi warga.
Permasalahan itupun lantas mendorong Adelvin Pradana Putra Mujiono, mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM angkatan 2022, melakukan penelitian. Fenomena tersebut perlu untuk diteliti mengingat di wilayah Kemantren Kotagede merupakan pusat wisata dan budaya Yogyakarta.
Dalam penelitiannya Adelvin melakukan bersama Parahita Janu Arundati (Ilmu Ekonomi 2022), Syafina Kinaya Amelia (Hukum 2022), Meidita Farah Widodo (Teknik Infrastruktur Lingkungan 2022), dan Sabri Indrajati (Sosiologi 2022). Penelitian berjudul Analisis Rendahnya Kualitas Air di Kemantren Kotagede: Celah Hukum dan Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat yang diajukan lima mahasiswa muda ini berhasil mendapatkan dana hibah riset melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2024 dari Kemendikbudristek.
Melalui penelitian tersebut mereka ingin menggali lebih dalam tentang celah hukum yang ada dalam perizinan penggunaan air tanah di Kota Yogyakarta. Selain itu, lewat penelitian ini mereka ingin mengetahui dampak sosial dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat rendahnya kualitas air di Kemantren Kotagede.
Adelvin menjelaskan dari penelitian yang telah mereka lakukan sejak bulan Januari 2024 lalu ditemukan fakta tingginya cemaran mikrobiologi dalam sumur warga dikarenakan cemaran limbah septic tank terhadap air tanah atau air sumur.
“Sebagian besar (58,3 persen) jarak septic tank dengan sumur yang ada di rumah tinggal di Kemantren Kotagede belum memenuhi batas aman. Sementara arahan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terkait dengan jarak antara septic tank dan air sumur melalui SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah 10 meter,” ungkapnya, Rabu (17/7) di FEB UGM.
Adelvin berpandangan terdapat adanya kesenjangan antara regulasi di tingkat pusat dan daerah. Hal ini ditunjukkan mulai dari terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah Pasal 11 Bab VIII yang telah secara eksplisit mengatur perizinan penggunaan atau eksplorasi air tanah.
Selain itu, terdapat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya air. Namun, hukum yang terbaru ternyata belum diolah kembali oleh Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dengan belum diterbitkannya sebuah Perwal baru sebagai terjemahan lebih lanjut dari adanya aturan-aturan baru mengenai perizinan pembangunan sumur dan hal-hal yang terkait.
Menurutnya dengan adanya regulasi terbaru serta fenomena kualitas air yang tercemar bisa segera ditangkap oleh pemerintah daerah. Dengan begitu, regulasi yang dibentuk mampu berperan sebagai respons preventif maupun represif dampak jangka pendek dan panjang pencemaran air tanah.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Kotagede telah sadar akan terjadinya fenomena rendahnya kualitas air di wilayah mereka. Salah satu respons yang ditunjukkan adalah dengan menggunakan filter air sebagai instrumen untuk memurnikan air sumur yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Prenggan, tepatnya kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Gajahwong. Selain itu, pengelolaan tinja di wilayah ini juga telah terintegrasi melalui IPAL Komunal yang dibangun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
“Kami menemukan jarak IPAL Komunal yang sangat dekat yaitu kurang dari 5 meter dengan air sumur warga yang telah terpasang filter air. Kedepan diharapkan ada evaluasi optimalitas pembangunan IPAL Komunal yang berdekatan dengan air sumur warga,” terangnya.
Reporter: Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM