Tradisi pasipiatsot atau meruncingkan gigi di mentawai sendiri sudah banyak ditinggalkan, namun keberadaannya masih ada di Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Tim mahasiswa Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Universitas Gadjah Mada di Kabupaten Kepulauan Mentawai melakukan observasi budaya tradisi khas suku Mentawai yang masih dilestarikan hingga saat ini di Dusun Buttui salah satunya tradisi meruncingkan gigi.
Dibawah bimbingan Dr. Ir. Bilal Ma’ruf, S.T., M.T., tim mahasiswa terdiri atas Wahid Innayah Tullah, Indarwati, Aanisah Fauziyyah Nurul Hadi, Erlangga Mahendra Yudha, Muhammad Lutfi Zunnur, dan Gertrude Beata Utomo Putri, melakukan kegiatan pengabdian yang bertajuk “Optimalisasi Potensi Sumber Daya Unggulan menuju Desa Ekowisata Berkelanjutan dan Community Based Tourism untuk Meningkatkan Taraf Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat”.
Wahid mengatakan kehadiran mahasiswa Tim KKN-PPM Kabupaten Kepulauan Mentawai disambut baik dalam mempelajari tradisi budaya suku asli Mentawai serta menunjukkan minat generasi muda dalam mengenali tradisi budaya yang tersebar di Indonesia serta antusiasme dalam mengenali pemanfaatan tanaman herbal tradisional di sekitar kita. “Salah satu tradisi yang dipelajari merupakan tradisi meruncingkan gigi suku Mentawai yang umumnya dilakukan oleh kalangan para wanita,” kata Wahid.
Aanisah Fauziyyah Nurul Hadi sebagai salah satu anggota Tim KKN-PPM menyebutkan Abai Ipai, yang merupakan istri dari Sikerei aman Ipai, menjadi salah satu narasumber Tim KKN dalam observasi ini. Ia menjelaskan cara membuat gigi mereka runcing adalah dengan menggunakan panokok (palu) dan papaek (pahat) serta Kajut Simakainaok (Batang dari kayu simakainaok yang digunakan sebagai penahan bibir) tanpa dilakukan pembiusan. “Pada zaman dahulu tradisi meruncingkan gigi Suku Mentawai dilakukan oleh wanita suku mentawai untuk menunjukkan kecantikan. Gigi yang diruncingkan itu empat gigi depan, rahang atas dan rahang bawah,” kata Aanisah menirukan.
Selain itu, suku mentawai juga memanfaatkan tanaman dalam merawat dan mengobati gigi mereka. Seperti mereka menggunakan tanaman yang mereka sebut Kromimit atau Leersia virginica yang diremas-remas dan dibentuk sedemikian rupa untuk menggosok gigi mereka. “Mereka juga memanfaatkan tanaman sipuraro atau Acmella caulirhiza yang bunganya diambil kemudian dihaluskan untuk kemudian diletakkan di gigi yang berlubang,” katanya.
Melalui kegiatan observasi budaya, tim mahasiswa KKN berharap agar masyarakat dan kalangan akademisi mengetahui bahwa masih ada tradisi unik khas di Suku Mentawai yang dahulunya dilakukan sebagai salah satu standar kecantikan bagi para wanita. “Observasi ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan khususnya dalam mencapai adanya kota dan komunitas yang berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia,” kata Aanisah.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson