
Puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM menggelar aksi penyampaian aspirasi di depan Gedung Pusat UGM pada Rabu (14/5) sore. Aksi ini diawali dengan long march dari GOR Pancasila menuju Balairung, disertai dengan pendirian tenda keprihatinan di halaman Balairung. Mahasiswa dari berbagai fakultas turut serta dalam aksi ini sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap berbagai persoalan bangsa. Mahasiswa menggelar diskusi terbuka untuk memperjelas substansi tuntutan mereka.
Dalam penyampaian aspirasinya, mahasiswa membawa sejumlah poin tuntutan yang mencerminkan perhatian terhadap dinamika sosial dan kebijakan nasional. Mereka menyatakan mosi tidak percaya terhadap institusi penyelenggara negara, khususnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, mereka menolak segala bentuk praktik militerisme di ruang-ruang sipil yang tidak memerlukan keterlibatan militer. Mahasiswa juga menyampaikan keberatan atas relokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah pusat serta mendorong pihak universitas untuk mewujudkan ruang publik yang inklusif dan merangkul keberagaman latar belakang mahasiswa. Di samping itu, mereka mendesak adanya langkah tegas dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Menanggapi aksi tersebut, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., menyampaikan bahwa aksi mahasiswa merupakan bentuk ekspresi kepedulian dan sikap kritis dalam merespons berbagai persoalan aktual. Menurutnya, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan pendapat merupakan bagian dari tanggung jawab sosial yang harus dihargai. “Aksi itu bagian dari kepedulian dan sikap kritis mahasiswa melihat realitas situasi ekonomi, sosial, dan politik makro, termasuk beberapa isu. Itu hal yang lumrah saja menurut saya. Dan saya yakin mahasiswa juga punya tanggung jawab secara sosial atas situasi yang dianggap perlu diperbaiki,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arie menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai non-kekerasan dalam penyampaian aspirasi agar tidak memicu reaksi yang kontraproduktif. Ia menyatakan bahwa isu-isu yang disampaikan mahasiswa, seperti ancaman terhadap demokrasi, kekhawatiran akan remiliterisasi, meningkatnya pengangguran, serta dampak krisis terhadap masyarakat, merupakan persoalan nyata yang perlu mendapat perhatian bersama.“UGM punya tanggung jawab untuk bisa merespons dengan porsinya. Kami meyakini krisis ini memang perlu menjadi perhatian secara serius. Semoga saja ini akan makin membaik,” tuturnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya universitas dan masyarakat untuk secara aktif membaca persoalan-persoalan nyata di tengah masyarakat melalui pendekatan dialog dan diskusi yang konstruktif. Menurutnya, pendekatan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi strategis dalam mengatasi tantangan bangsa. “Kuncinya membaca problem-problem real di masyarakat seperti apa. Kita bisa dialog, bisa berdiskusi, bisa menghasilkan rekomendasi-rekomendasi strategis untuk memperbaiki bangsa ini, memperbaiki situasi ini,” terangnya.
Di tengah menguatnya arus disinformasi di ruang publik, Arie menilai bahwa kritik mahasiswa juga berperan penting dalam menjaga kewarasan sosial. Ia mengingatkan bahwa penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan berita palsu telah memperkeruh suasana dan memengaruhi psikologi publik secara luas. “Sekarang ini ruang publik kita itu juga makin kumuh. Karena hoax, hate speech, fake news itu begitu liar yang memengaruhi psikologi publik. Secara sosial ini akan menjadi bentuk terrorizing,” ungkapnya.
Arie menegaskan negara harus hadir dengan kebijakan yang cepat dan tepat untuk memberikan kepastian dan menjawab keresahan masyarakat. UGM, lanjut Arie, senantiasa berkomitmen untuk menyediakan ruang aman dan mendukung kebebasan sivitas akademika dalam menyampaikan pendapat, sepanjang dilakukan secara damai dan tidak mengganggu ketertiban umum maupun aktivitas kampus. “Negara harus bisa memperbaiki kecepatan untuk merespons supaya ada penanganan secara serius, ada kepastian. Ketidakpastian itu membuat orang bingung mau ke mana,” tandasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Dok. Humas UGM