
Luis Venriko Mumu, mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, berhasil terpilih mengikuti dua kegiatan internasional bergengsi di Jepang. Pertama, Hamadohri Environmental Radiation Measurements International School 2025 yang diselenggarakan oleh University of Osaka di Fukushima pada tanggal 27-31 Juli 2025, dan kedua, menjadi pembicara pada International Symposium “Designing a Future Society for Our Life” yang berlangsung pada tanggal 4-5 Agustus 2025 di World Expo 2025 di Osaka.
Program Hamadohri International School sendiri berfokus pada pembelajaran mengenai dampak dari gempa bumi dan tsunami besar di Jepang yang terjadi pada 11 Maret 2011, khususnya dari perspektif bahaya radiasi akibat kecelakaan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Peserta diajak memahami proses evakuasi, rekonstruksi, serta kondisi terkini dari sisi ilmiah maupun sosial.
Luis menceritakan bahwa selama kegiatan peserta diajak mempelajari teknik pengambilan sampel tanah dan vegetasi, melakukan pengukuran radiasi di kawasan pemukiman yang telah lama ditinggalkan, penggunaan detektor radiasi, serta prosedur keselamatan. “Melalui program ini, saya tidak hanya belajar aspek teknis seperti pemantauan radiasi, tetapi juga memahami sisi kemanusiaan dari bencana Fukushima. Pelajaran yang saya dapatkan sangat berharga untuk masa depan keselamatan nuklir dan penanggulangan bencana,” ujar Luis ketika diwawancara di Kampus UGM, Kamis (18/9).
Luis juga mengunjungi Interim Storage Facility yang dikelola JAEA (Japan Atomic Energy Agency) untuk melihat secara langsung proses dekomisioning jutaan meter kubik tanah yang terkontaminasi bahan radioaktif. TEPCO Decommissioning memberikan kunjungan ke Fukushima Daiichi yang menjadikan salah satu pengalaman berharga. Laju dosis radiasi terukur mencapai 70-80 mikrosievert per jam pada jarak kurang lebih 150 meter dari reaktor unit 1 dan 2, angka yang jauh lebih tinggi dari kondisi normal.
Bagi Luis, salah satu momen paling berkesan dalam kegiatan ini adalah kunjungan ke sekolah dasar yang ditinggalkan sejak 2011, dimana tas, buku, dan sepatu siswa masih tertinggal seakan waktu berhenti sejak bencana terjadi. Selain itu, peserta juga berinteraksi dengan warga lokal dan para pekerja disana, mendengar langsung kisah mereka pascabencana, bahkan turut melakukan kegiatan sosial bersama.
Selain mengikuti Hamadohri International School, Luis juga mendapat kesempatan langka untuk menjadi pembicara termuda dalam International Symposium “Designing a Future Society for Our Life” yang mengangkat tema Natural and Climate-Change Induced Disasters’ Effect on Women and Under-Represented Groups. Dari Indonesia, turut hadir Duta Cahya Alam yang membawakan topik tentang malaria di Papua Barat. Simposium ini juga dihadiri oleh Kepala BMKG, Prof Dwikorita Karnawati, yang sempat berdiskusi langsung dengan Luis.
Dalam forum internasional tersebut, Luis merepresentasikan Indonesia melalui presentasi berjudul “Vulnerable Voices from The 2010 Merapi Eruption: Impacts on Women, Children, The Elderly, and People with Disabilities” yang membahas dampak letusan Gunung Merapi 2010 terhadap kelompok rentan. “Saya percaya diri mengambil topik ini karena saya sendiri adalah salah satu korban terdampak secara langsung. Selain itu, saya juga telah melakukan wawancara dengan penyintas dan relawan, sehingga bisa menghadirkan kisah nyata mereka dalam presentasi,” jelasnya.
Dalam sesi tanya jawab, Luis menjelaskan potensi penggunaan detektor partikel alfa untuk memantau gas radon dari bawah tanah sebagai salah satu indikator aktivitas seismik. Gagasan tersebut menuai apresiasi dari berbagai pihak. “Profesor Cinzia Da Via dari University of Manchester menilai ide saya sebagai inovasi yang dapat diaplikasikan. Sebagai mahasiswa Teknik Nuklir, ide tentang detektor gas radon itu menurut beliau sangat bisa untuk diaplikasikan untuk memitigasi bencana alam khususnya gempa,” kata Luis.
Di kesempatan yang sama, Luis juga mengungkapkan bahwa Profesor Megumi Sugimoto dari University of Osaka menyampaikan bahwa Jepang bisa belajar dari pengalaman Indonesia dalam mitigasi letusan gunung berapi. “Kita memang sama-sama berada di kawasan ring of fire. Tetapi, Indonesia punya lebih banyak gunung api aktif dan lebih berpotensi. Jadi, seharusnya kita bisa belajar lebih banyak dari kamu,” ujar Professor Sugimoto kepada Luis saat itu.
Bagi Luis, kesempatan mewakili Indonesia dalam forum internasional merupakan pengalaman berharga sekaligus langkah besar untuk mengembangkan diri di kancah global. Ia berharap pencapaian ini dapat menjadi motivasi bagi generasi muda Indonesia untuk terus berprestasi, berinovasi, dan berperan aktif dalam forum global.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Luis Venriko Mumu