Salah satu ruangan di Gedung Margono Soeradji, Fakultas Kedokteran Gigi UGM tampak gelap dan hening, kecuali pada satu titik di tengah panggung yang menampilkan satu-satunya aktor yang tengah bercerita. Lampu sorot kemudian selalu berganti warna, diiringi musik yang mengalun di telinga, mengikuti alur cerita dan emosi yang dihadirkan oleh sang bintang utama. Begitulah pemandangan yang tersaji di depan mata para juri dan penonton pada tangkai seni Monolog yang diperlombakan dalam Pekan Olahraga dan Seni (Porsenigama), 25-26 oktober lalu.
Monolog, merupakan teater yang hanya menampilkan satu orang aktor yang berbicara atau bercerita kepada penonton tanpa lawan bicara. Silih berganti, selama dua hari, 15 orang peserta dari berbagai fakultas di UGM menampilkan penampilan terbaiknya selama maksimal 25 menit di atas panggung.
Sebagai pemenang juara 1 pada tahun ini, Flannery Angela Eirene Beatriciawaoma angkatan 2025, Fakultas Psikologi membawakan karya “Tolong” ciptaan N. Riantiarno. Flannery menjelaskan bahwa karyanya ini mengisahkan tentang Atikah, pekerja migran asal Indonesia yang merantau di negeri orang dengan harapan dapat memperbaiki hidup, namun justru mengalami kekerasan di sana.
Menurutnya karya ini merupakan sebuah kritik tentang pemerintah yang dianggap kurang peduli dengan apa yang terjadi dengan rakyatnya. Mereka lebih fokus untuk mengambil menguras mereka. “Itu yang mungkin menjadi kritik sosial, dan kritik politik sendiri dari naskah Tolong ini,” pungkasnya.
Untuk persiapannya sendiri, Flannery mengaku latihan yang ia lakukan tak sampai seminggu, bahkan untuk optimalnya hanya 3 hari saja. “Karena satu, ya tadi karena UTS itu, lalu yang kedua, kayaknya dari sisi pelatih dan crew itu memang belum ketemu jadwal yang pas. Jadi mungkin secara maksimalnya dan optimal waktu latihan itu cuma sekitar tiga hari lah, itu maksimalnya,” pungkasnya.
Di lain sisi, Prasista Nasya Zerlinda dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik angkatan 2024 yang juga meraih Juara 2, menampilkan “Balada Sumarah” karya Tentrem Lestari. Karya ini menceritakan Sumarah, seorang perempuan yang hidupnya hancur dan terpinggirkan karena ayahnya tertuduh sebagai anggota PKI, hingga ia menjadi pekerja migran di negeri orang, namun naas pada akhirnya ia pun tetap dihantui oleh penderitaan.
Pras mengaku, saat membedah karya ini, ia ingin menampilkan interpretasi yang berbeda dari kebanyakan orang. Alih-alih menggambarkan Sumarah sebagai pihak yang tersiksa, ia mencoba membuatnya sebagai sosok yang berdaya. “Karena Sumarah itu lebih pada seseorang yang tersiksa. Nah, aku membayangkan Sumarah itu sebagai perempuan yang berdaya. Karena dia sudah siap mati, berarti dia punya power sebagai seorang TKW, dia tuh kuat,” jelasnya.
Untuk persiapannya sendiri, ia mengaku total persiapannya selama 5 hari dengan waktu optimal malam tadi dan sebelumnya. Ia pun menambahkan, bahwa melalui seni, merupakan salah satu cara untuk melawan. “Kalau bagi aku sebagai seorang perempuan, aku rasa kesenian adalah salah satu cara bagi kita untuk berbicara.
Meskipun tidak secara langsung ketika kita menyerang gitu. Tapi perempuan yang berani berkesenian dan membelah hak-haknya itu adalah perempuan sejati,” pungkasnya mengakhiri.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa
