Menghadapi krisis air bersih yang melanda dunia, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian tentang budaya masyarakat Kudus, Jawa Tengah, yang melestarikan air dalam sendang dan belik melalui kearifan lokal Banyu Penguripan. Kekurangan air bersih telah menjadi masalah mendesak dan penelitian tersebut berupaya untuk memandang kearifan lokal sebagai solusi konkret yang berkelanjutan.
Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tim penelitian terdiri atas Tiyo Ardianto (Filsafat, 2021) sebagai ketua; Devina Ocsanda (Arkeologi, 2020), Adelin Gusman Munir (Pembangunan Wilayah, 2021), dan Nurma Aisyah (Sastra Jawa, 2021) sebagai anggota; serta Dr. Sartini M. Hum sebagai dosen pendamping.
“Banyu Penguripan mempersatukan 51 sumber air yang berupa belik dan sendang di Kudus secara kosmologis. Masyarakat diam-diam sebenarnya terdidik untuk lebih menghargai air sebagai unsur maha penting kehidupan sekaligus sarana menuju kesucian. Ironinya, meski memiliki kearifan lokal berkenaan dengan air, Kudus justru terancam krisis air bersih yang diperkirakan terjadi pada tahun 2032,” terang Tiyo.
Observasi penelitian dilakukan pada 17—18 Juli dan 1—3 September 2023 di 14 belik dan sendang di sekitar Kudus serta beberapa lembaga terkait. Dalam observasi tersebut, tim penelitian bertemu dengan juru pelihara, tokoh masyarakat, sejarawan, juga pihak pengelola Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, Perumda Tirta Muria (PDAM), Pemerintah Desa Menawan, serta Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kudus.
Selama observasi, tim penelitian mendapati bahwa masyarakat Kudus memiliki hubungan yang sangat erat dengan air melalui cerita rakyat, kepercayaan, dan tradisi. Masyarakat memandang air sebagai sesuatu yang suci, sebuah sumber kehidupan yang harus dilestarikan dengan penuh rasa hormat. “Dalam kepercayaan masyarakat, belik dan sendang memiliki nilai spiritual dan keberkahan. Merupakan warisan dari leluhur dan akan diwariskan kepada generasi mendatang,” kata Tiyo.
Selain itu, pada beberapa belik dan sendang, masyarakat menerapkan sistem pengelolaan air yang terstruktur dan berbasis pada prinsip berkelanjutan, seperti yang ditemukan di sendang Widodari di Menawan, Gebog, dan sendang Dewot di Wonosoco, Undaan.
Dalam sistem tersebut, masyarakat belajar untuk menyeimbangkan antara kebutuhannya dan kelestarian air. Setiap warga berkesadaran untuk menjaga ekosistem di sekitar belik dan sendang, tidak melakukan pemborosan atau eksploitasi, serta memelihara tradisinya.
Setelah melakukan analisis mendalam terhadap data yang dikumpulkan, tim penelitian mengungkap bahwa Banyu Penguripan mampu menjadi strategi penyediaan air bersih berkelanjutan berbasis kearifan lokal dengan mengoptimalisasikan nilai-nilai yang terwujud dalam aksi konservasinya.
Tim peneliti merekomendasikan adanya kolaborasi aktif antara masyarakat, juru pelihara, dan pemerintah untuk menciptakan kebijakan serta kesepakatan bersama untuk mendukung pelestarian belik dan sendang sehingga krisis air bersih yang mengancam Kudus bisa dicegah. Tim peneliti yakin bahwa pelestarian air melalui kearifan lokal bisa diterapkan di daerah-daerah lain. Krisis air bersih tak terjadi dan budaya pun lestari.
Penulis: Tim PKM
Editor: Gloria