
Replanting atau peremajaan sawit merupakan salah satu cara menjaga stabilitas produksi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) yang berkelanjutan. Peremajaan tersebut dilakukan kepada sawit yang sudah melewati usia produktif atau diatas 25 tahun untuk diganti dengan sawit muda yang memiliki produktivitas hasil yang lebih baik.
Tim mahasiswa Program Studi S1 Antropologi Budaya UGM, Ana Choirina Afdila dan Muhammad Fahmi Rafsanjani, bersama Tobias Graf dari University of Zurich, melakukan penelitian yang berfokus untuk mengungkap relasi dan masalah sosial yang tercipta selama pelaksanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Para mahasiswa mengumpulkan data dan catatan lapangan (fieldnotes) dengan menggunakan metode Observasi Partisipan selama tiga bulan sejak April 2025 lalu, di Desa Pampang Dua, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Beberapa kebun sawit di Kalimantan Barat memasuki tahap peremajaan yang harus dilakukan secara bertahap. “Kita melakukan riset terkait berbagai pertimbangan seperti biaya, tenaga kerja, kelangsungan produksi, dan persoalan sosial seperti akses lahan,” kata Ana Choirina Afdila dalam keterangan kepada wartawan, Senin (2/6).
Peremajaan sawit ini diwujudkan dalam program Peremajaan Sawit Rakyat yang dikelola melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Selain itu, penelitian ini juga mengangkat topik mengenai alternatif ekonomi masyarakat selama program PSR berlangsung. “Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap persoalan yang berkembang di kalangan petani sehubungan dengan peremajaan sawit. Apakah mereka mau terus menanam sawit, bagaimana cara mereka mengakses biaya peremajaan, dan apakah ada alternatif ekonomi selain sawit yang terbuka untuk mereka selanjutnya,” ujar Dila, demikian ia akrab disapa.
Dosen pembimbing riset ini, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono menjelaskan riset peremajaan sawit ini menggunakan metode Observasi Partisipasi atau etnografi memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk tinggal bersama dengan masyarakat khususnya para petani dan elemen terkait lainnya. Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk bisa turut merasakan, mengalami, dan menjalani kehidupan sebagai masyarakat Pampang Dua.
Pujo juga menambahkan bahwa metode ini penting untuk dilakukan guna mengasah kepekaan mahasiswa dalam memahami rasa, pemikiran, serta hubungan sosial yang terjadi di masyarakat. “Harapannya hasil penelitian ini tidak hanya menjadi data untuk tugas akhir mahasiswa saja, tapi bisa bermanfaat bagi para stakeholder untuk mewujudkan perkebunan sawit yang berkelanjutan,” imbuh Pujo.
Bagi Dila dan Fahmi, penelitian ini merupakan kesempatan yang sangat luar biasa untuk menambah pengalamannya dalam penelitian lapangan. Penelitian ini juga memberikan tantangan tersendiri bagi mereka lantaran penelitian sosial terkait replanting kelapa sawit di Indonesia belum banyak dilakukan.
Selain itu, penelitian kolaborasi dengan mahasiswa dari Zurich juga menjadikan penelitian kedua mahasiswa Antropologi Budaya UGM di Kalimantan Barat ini lebih berkesan. “Harapannya, penelitian ini tidak hanya akan menjadi data bagi skripsi saya, tapi saya ingin menunjukan dinamika sosial yang terjadi pada petani kelapa sawit khususnya terkait replanting yang begitu kompleks, karena aspek ekologi, politik, dan ekonomi yang saling berkorelasi,” pungkas Dila.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson