Aksi Kamisan Yogyakarta telah berlangsung sejak 2013. Aksi ini dikenal menggunakan pendekatan non kekerasan, tidak hanya efektif dalam menyampaikan pesan tetapi juga dalam mengubah persepsi pemerintah dan masyarakat terhadap isu-isu HAM. Aksi yang digelar rutin di ruang publik Tugu Yogyakarta, dinilai sebagai cerminan interaksi dan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat.
Tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam kelompok Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) UGM yang terdiri dari Pradipta Arya Arsensa (Politik dan Pemerintahan 2022), Caecilia Ega Sanjaya (Hubungan Internasional 2022), Chiara Adelia Maria Dewanti (Hubungan Internasional 2022), dan Alma Sophia (Hubungan Internasional 2022) melakukan penelitian mendalam mengenai pemanfaatan ruang publik Tugu Yogyakarta oleh Aksi Kamisan Yogyakarta.
Dalam penelitian yang dibimbing oleh Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Dr. Suci Lestari Yuana, S..I.P., M.I.A., tim ini mengeksplorasi strategi Aksi Kamisan Yogyakarta dalam memanfaatkan ruang publik Tugu Yogyakarta. Seperti diketahui, Tugu Yogyakarta merupakan ikon bersejarah yang tidak hanya simbol identitas kota tetapi juga menjadi tempat berdinamika dan berdemokrasi. “Kami ingin menggali lebih dalam bagaimana ruang publik ini dapat dimanfaatkan secara efektif untuk advokasi hak asasi manusia,” ujar Pradipta Arya Arsensa selaku ketua tim, Minggu (4/8).
Pada riset kali ini, mahasiswa menggunakan metodologi penelitian mencakup survei yang terdiri dari peserta Aksi Kamisan dan masyarakat sekitar Tugu Yogyakarta, observasi partisipatif, wawancara mendalam, serta analisis literatur dan arsip lokal. “Kami berusaha memahami bagaimana metode nirkekerasan diterapkan dalam konteks lokal dan bagaimana dampaknya terhadap partisipasi masyarakat serta perubahan sosial,” jelas Pradipta.
Tim mahasiswa UGM menemukan dari 198 metode nirkekerasan yang dirumuskan Gene Sharp, setidaknya delapan metode digunakan dalam aksi ini, termasuk pidato publik, penggunaan slogan dan simbol, serta pertunjukan seni dan musik. “Metode nirkekerasan ini tidak hanya efektif dalam menyampaikan pesan tetapi juga dalam mengubah persepsi pemerintah terhadap isu-isu HAM. Kami melihat adanya peningkatan transparansi dalam proses hukum sebagai salah satu dampak positif dari aksi ini,” kata Caecilia Ega Sanjaya, anggota tim lainnya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa metode nirkekerasan yang paling efektif dalam Aksi Kamisan adalah pidato publik, penggunaan simbol pakaian hitam, dan pertunjukan seni. Metode ini berhasil menarik perhatian publik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu HAM. “Selain itu, aksi ini juga menciptakan ruang diskusi inklusif dimana berbagai kelompok masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka,” kata Caecilia.
Meski begitu, penelitian ini juga mengungkap tantangan yang dihadapi dalam memanfaatkan ruang publik Tugu Yogyakarta, seperti keterbatasan infrastruktur dan peraturan mengenai pemasangan banner. “Kami harus kreatif dalam memanfaatkan ruang yang ada dan mematuhi peraturan yang berlaku. Namun, tantangan ini justru mendorong kami untuk mencari solusi inovatif,” kata Chiara Adelia Maria Dewanti menjelaskan.
Menurut Alma Sophia, ia dan tim memberikan rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektivitas Aksi Kamisan Yogyakarta yakni mengundang stakeholder terkait isu yang diangkat dalam aksi sehingga memungkinkan dialog dua arah yang konstruktif
Penelitian yang dilakukan selama empat bulan ini tidak hanya menghasilkan laporan dan artikel ilmiah, tetapi juga berbagai luaran media sosial melalui akun @pkmrshugm.kamisan. Dengan pendekatan kualitatif, tim ini berhasil menganalisis dan merumuskan strategi pemanfaatan ruang publik yang inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi akademisi, praktisi, dan pemerintah dalam memahami dan mengoptimalkan pemanfaatan ruang publik untuk aksi advokasi yang efektif dan inklusif. “Dengan demikian, Tugu Yogyakarta tidak hanya menjadi simbol sejarah, tetapi juga pusat dinamika sosial yang mendukung demokrasi dan hak asasi manusia,” pungkas Alma.
Penulis : Dita
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Radar Jogja