Masyarakat yang tinggal di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun masih memegang adat istiadat dan tradisi yang diwariskan para leluhur. Meski begitu, mereka tetap bisa beradaptasi mengikuti perkembangan zaman dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi masa kini, seperti adanya saluran televisi lokal yang menayangkan aktivitas keseharian masyarakat serta jaringan internet melalui wifi.
Yang menarik, di wilayah Kasepuhan Ciptagelar ini keperluan energi listrik dihasilkan lewat Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) yang memanfaatkan sumber energi terbarukan berupa aliran air sungai. Kehidupan masyarakat Ciptagelar yang masih menjaga tatanan adat dan tradisi, tetapi tetap mampu memanfaatkan teknologi dan energi terbarukan dianggap bisa menjadi contoh bagi desa-desa di daerah lain.
Lima mahasiswa UGM yang tergabung dalam tim Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian mengenai tradisi kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar yang menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di desanya. Tim riset yang terlibat didampingi oleh dosen Filsafat, Dr. Sartini M. Hum, yaitu beranggotakan Dimas Aji Saputra (Filsafat), Berliana Intan Maharani (Sosiologi), Ilham Pahlawi (Antropologi), Gita Dewi Aprillia (Psikologi), dan Masiroh (Ilmu Komunikasi). Penelitian dilakukan dengan mendatangi secara langsung Kasepuhan Ciptagelar, kampung adat yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 24-27 Juli 2023 lalu.
Untuk membangun desa mandiri energi, masyarakat menggunakan ilmu pengetahuan lokal, kepercayaan, pandangan hidup, dan adat istiadat yang bersandar pada nilai dan norma warisan leluhur. “Kalau dilihat dari kacamata pembangunan berkelanjutan, masyarakat Ciptagelar dalam membangun PLTMh sudah menerapkan prinsip-prinsip itu. Mereka memanfaatkan sumber daya alam dan menyesuaikannya dengan aktivitas keseharian. Jadi, PLTMh justru belum tentu bisa berjalan hanya dengan generator penggerak. Ada aliran sungai dan hutan yang perlu dijaga,” jelas Masiroh, anggota tim yang terlibat di lapangan.
Berliana Intan, salah satu anggota tim, memberikan penjelasan bahwa masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar dasarnya memiliki pandangan hidup yang disebut kudu bisa ngigelan jaman, tapi ulah kabawa ku jaman. Artinya, masyarakat Ciptagelar harus mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan adat dan tradisi yang dititipkan oleh para leluhur. Pengelolaan sumber energi terbarukan melalui PLTMh tidak serta-merta dapat berjalan karena adanya alat penggerak berupa turbin generator. Akan tetapi, PLTMh justru bisa berjalan diiringi kearifan lokal yang masih terjaga dan dilestarikan.
Pengelolaan kearifan lokal dalam mewujudkan desa mandiri energi salah satunya terwujud dari upaya masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Menurut penuturan Ilham Pahlawi, masyarakat Ciptagelar mempunyai keyakinan dengan leuweung tutupan sebagai upaya menjaga kelestarian hutan yang direpresentasikan melalui kepercayaan terhadap hutan larangan. “Bagi masyarakat adat, hutan punya peran yang sangat vital, menjadi sumber air bagi sungai-sungai yang mana dimanfaatkan sebagai penggerak turbin PLTMh. Ada juga tradisi menanam pohon setiap awal tahun baru, disebutnya melak tangkal di tahun anyar. Tradisi ini tentu bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan, air, dan alam yang menjadi penopang kestabilan aliran sungai sebagai sumber energi listrik terbarukan,” tutur Ilham.
Gita Dewi Aprillia menuturkan dari riset ini diketahui nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat Ciptagelar telah mendorong pembangunan desa mandiri energi berwawasan lingkungan bahwa apalagi desanya berada di lereng Gunung Halimun secara mandiri memanfaatkan sumber energi terbarukan. “Kemandirian desa mandiri ini sudah seharusnya hal ini perlu diangkat dan menjadi contoh bagi desa-desa lain. Sekaligus kita menyadari Indonesia sebenarnya kaya akan sumber energi terbarukan, tetapi sayangnya masih minim dimanfaatkan,” ujar Gita.
Penulis : Gusti Grehenson