Di dalam masyarakat adat suku Bugis dapat ditemui kelompok gender minoritas di luar konstruksi gender biner seperti calalai (perempuan maskulin), calabai (laki-laki feminin), dan bissu (bukan laki-laki maupun perempuan). Jika di banyak tempat kelompok ini dianggap sebagai kelompok liyan, bahkan tidak jarang mengalami perlakuan diskriminatif, masyarakat adat suku Bugis di Kelurahan Bonto Matene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, yang mayoritas beragama Islam justru dapat menerima kelompok gender minoritas dan hidup berdampingan dengan mereka.
Lima mahasiswa UGM yang tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM Riset Sosial Humaniora (RSH) berusaha meneliti secara mendalam mengenai keberagaman gender pada masyarakat adat suku Bugis yang dapat hidup secara inklusif dengan masyarakat setempat. Mereka melakukan riset selama 4 bulan dengan judul Leaving No One Behind: Menelisik Keberagaman Gender Masyarakat Adat Suku Bugis Sebagai Upaya Membangun Masyarakat yang Inklusif.
“Keberadaan gender selain laki-laki dan perempuan dalam Islam dinilai mencederai syariat agama, tetapi masyarakat adat suku Bugis di Kelurahan Bonto Matene yang mayoritas beragama Islam masih memberi ruang pengakuan atas eksistensi gender di luar laki-laki dan perempuan,” tutur Atikah Inayah, salah satu anggota tim yang melakukan penelitian langsung di Kelurahan Bonto Matene.
Kelompok PKM-RSH ini terdiri atas lima mahasiswa yaitu Atikah, Danu Saifulloh Rahmadhani, dan Wahida Okta Khoirunnisa yang ketiganya merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat, Tri Utami yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), serta Muhammad Yusuf Aryotejo, mahasiswa Fakultas Hukum.
Melalui penelitian yang dilakukan, para mahasiswa berusaha mengetahui nilai atau norma yang melandasi penerimaan masyarakat adat suku Bugis atas keberagaman gender, serta pelibatan kelompok gender minoritas dalam peran kultural.
Berdasarkan temuannya, Atikah mengungkapkan bahwa pengakuan dan penerimaan masyarakat adat suku Bugis terhadap keberagaman gender terbangun dalam 3 bentuk hubungan yang didasari oleh nilai siri’ na pacce, yaitu nilai adat yang menjunjung tinggi harga diri, kehormatan, dan kemanusiaan. Siri’ na pacce sendiri pada dasarnya merupakan bentuk integrasi antara nilai agama dan adat yang memiliki fungsi vital bagi kehidupan masyarakat adat suku Bugis.
Pengakuan dan penerimaan masyarakat adat suku Bugis terhadap keberagaman gender, terangnya, terbentuk karena adanya hubungan primer, hubungan hak atau penerimaan atas kesetaraan di antara sesama manusia yang memunculkan rasa hormat, serta hubungan nilai komunitas.
“Pengakuan dan penerimaan tersebut juga merupakan bentuk aktualisasi atas nilai ajaran Islam dalam dimensi kemanusiaan dan dimensi kultural yang menekankan pentingnya untuk saling mengenal satu sama lain, saling menghargai akan perbedaan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan,” imbuh Tri Utami.
Kelompok ini juga melakukan pengukuran inklusi sosial juga didasarkan pada beragam aspek atau domain. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat inklusivitas yang diterima oleh kelompok gender minoritas di Kelurahan Bonto Matene masuk ke dalam kategori baik dengan rata-rata 72.29 persen. Karena itu, menurut para mahasiswa penting untuk menginternalisasi nilai siri’ na pacce terhadap masyarakat melalui institusi keluarga, pendidikan, dan instansi pemerintah.
Penulis: Tim PKM
Editor: Gloria