Ibu dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia sering kali ditemukan mengalami situasi yang sulit karena peran pengasuhan anak lebih banyak dibebankan pada ibu. Situasi ini dipicu oleh ABK yang memiliki kondisi khusus sehingga memerlukan pengasuhan yang berbeda dengan anak tipikal. Keadaan tersebut semakin kompleks terjadi pada ibu tunggal yang harus mengasuh ABK sendiri karena ibu juga harus menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya. Meskipun demikian, banyak ibu tunggal yang masih dapat bertahan dan berjuang untuk anak-anaknya.
Kondisi ini mendorong tim peneliti dari UGM yang berpartisipasi dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian mengenai kemandirian ibu tunggal yang memiliki ABK. Tim ini terdiri dari lima mahasiswa, yaitu Syadza Aliyah Putri (Psikologi 2021), Keysha Wini Azzahra Matondang (Psikologi 2021), Namaskara Tawang Kusuma (Psikologi 2021), Rizqi Vazrin (Filsafat 2021), dan Rahmadhani Sulistyorini (Manajemen dan Kebijakan Publik 2020), yang didampingi oleh Restu Tri Handoyo, Ph.D., Psikolog.
Peneliti dalam tim ini mengumpulkan data dengan mewawancarai 10 ibu tunggal dengan ABK yang bertempat tinggal di Provinsi DIY pada tanggal 4 Agustus-8 September 2023 lalu.
Dalam pengasuhan ibu tunggal ditemukan banyak menghadapi hambatan, mulai dari kondisi finansial yang sulit, terbatasnya waktu yang dapat diluangkan untuk bekerja karena harus mengasuh anak, hingga menghadapi berbagai dinamika emosional dalam diri ibu. Untuk dapat melewati hal tersebut, tentunya ibu membutuhkan dukungan, salah satunya adalah dukungan spiritual atau keyakinan. Dalam budaya masyarakat Jawa, terdapat falsafah nrimo ing pandum yang menjadi salah satu penguat mereka dalam menerima sulitnya kondisi hidup.
“Sayangnya, terdapat kesalahpahaman dalam pemahaman masyarakat terkait falsafah nrimo ing pandum ini,” ujar Namaskara.
Kesalahpahaman terhadap nilai ini membuat masyarakat membenarkan penerimaan buta terhadap takdir hidup atau berpasrah tanpa melakukan usaha. Idealnya, penerapan nrimo ing pandum harus dilakukan bersamaan dengan makaryo ing nyoto, yaitu usaha untuk mengubah keadaan. Penerapan nrimo ing pandum secara “ideal” dipandang dapat menguatkan spiritualitas dalam melewati berbagai kesulitan hidup dan mendorong individu untuk berusaha mengubah kondisinya menjadi lebih baik.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti berharap ibu tunggal mendapatkan dorongan spiritual dalam menghadapi kondisi sulitnya melalui falsafah ini. Selain itu, peneliti berharap penelitian ini dapat meluruskan kesalahpahaman masyarakat terkait implementasi falsafah nrimo ing pandum.
Penuis: Tim PKM; Editor: Ika