Indonesia memiliki keanekaragaman tanaman pangan yang tinggi. Namun, kekayaan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik. Meningkatnya laju pertambahan penduduk yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas pangan sehingga menyebabkan ketergantungan pada makanan pokok beras yang sekarang ini masih harus impor. Padahal, terdapat beragam jenis bahan pangan alternatif sebagai pengganti beras.
Etnobotani merupakan salah satu praktik pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berbasis pada lokus kelompok etnis. Jika dimanfaatkan dengan baik, etnobotani dapat menjadi kunci untuk mewujudkan ketahanan pangan. Namun, di sisi lain pengetahuan etnobotani juga sedang terancam mengalami pergeseran dan kepunahan. Salah satu kelompok etnis di Indonesia yang memiliki potensi etnobotani yang dapat digunakan sebagai role model dan masih dapat dipreservasi adalah Suku Rejang.
Penelitian yang dilakukan tim mahasiswa UGM mengenai retensi pengetahuan etnobotani yang ada pada suku Rejang dari sisi pergeseran, pewarisan, dan strategi konservasi berdasarkan pada kelompok usia. “Kita menggunakan pendekatan interdisipliner meliputi penghitungan indeks pengetahuan etnobotani untuk menghitung pergeseran pengetahuan antargenerasi, dan etnografi dan sejarah untuk melihat pola pewarisan pengetahuan,” kata Abdilla, salah satu anggota tim PKM UGM dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (5/10).
Selain Abdila, anggota tim riset yang lain adalah Ilham Nur Rahman (Teknologi Industri Pertanian 2021), Mia Fadilah (Biologi 2020), Ilham Andriyanto (Antropologi 2021), Hanieke Syahla Magular (Antropologi 2020), dan Abdila (Sejarah 2020) yang didampingi oleh Dr. Aprilia Firmonasari, S.S., M.Hum., DEA.
Responden yang menjadi target dari riset ini adalah masyarakat suku Rejang yang menetap di Desa Rindu Hati, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Tim melakukan survei terhadap 40 orang Suku Rejang, dengan metode observasi dan wawancara terhadap masyarakat Suku Rejang. “Sebagai data pendukung, kita melakukan pembacaan terhadap arsip, literatur, termasuk literatur lokal tentang sistem pertanian setempat,” jelasnya.
Dari hasil riset ini, Abdila menjelaskan pengetahuan etnobotani paling banyak dimiliki oleh kelompok usia dia 60 tahun dan kelompok usia 45-60 tahun. “Terendah pada kelompok umur termuda 15-30 tahun sebesar 39,09%,”ujarnya.
Hanieke Syahla Magular, salah satu anggota tim PKM lainnya, menuturkan pewarisan pengetahuan etnobotani pada Suku Rejang dilakukan melalui tiga cara, yakni pewarisan pengetahuan melalui tradisi lisan antara generasi tua ke muda dengan cara bertutur. Selanjutnya, pewarisan pengetahuan etnobotani secara alami melalui aktivitas sehari-hari. “Ada juga pewarisan pewarisan etnobotani dilakukan secara non-formal tanpa adanya hal-hal struktural yang ada pada masyarakat Rejang,” paparnya.
Hanieke menyoroti soal masih absennya lembaga lokal dalam upaya pewarisan pengetahuan etnobotani yang ikut berperan melemahkan proses pewarisan pengetahuan etnobotani suku Rejang. Ia merekomendasikan perlunya sebuah kemitraan baru yang dibangun antara pegiat konservasi, akademisi, aktor pemerintah, dan masyarakat lokal sebagai pemilik pengetahuan. “Kemitraan ini harus dijalankan dengan prinsip pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan masyarakat lokal dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, diharapkan terjadi keadilan kultural bagi pelaku konservasi pewarisan pengetahuan etnobotani,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson